Fik.um-surabaya.ac.id



MENGENAL TENTANG MIASTENIA GRAVIS DAN
Fahrun Nur Rosyid Bagian Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya Email: [email protected] Abstract
Myastenia gravis may cause paralysis due to the mobility of neuromuscular
connections to deliver signals from nerve fibers to muscle fiber. This disease
occurs due to disruption of synaptic transmission at neuromuscular junction.
Prior understanding of myastenia gravis, knowledge of anatomy and normal
function of the neuromuscular junction is very important. Presinaptic membrane
(membrane of nerve), post synaptic membrane (muscle membrane), and the
synapse is a gap forming parts of the neuromuscular junction. Immunoigenic
mechanism plays a very important in the pathophysiology myastenia gravis where
antibodies are the product ofB cells in fact against the acethylcholine receptor.
Management myasatenia gravis can be done with drugs thymomectomy or with
immunomodulating and immunosuppressive therapy that can provide a good
prognosis in mystenia gravis healing.

Key word: Mystenia gravis, and management.

PENDAHULUAN
Bila penyakit tersebut cukup parah, Miastenia gravis, yang terjadi penderita meninggal akibat paralisis pada kira-kira 1 dari 20.000 orang, terutama, paralisis otot pernapasan menyebabkan kelumpuhan akibat (Guyton & Hall, 1997). ketidakmampuan sambungan Miastenia gravis adalah salah neuromuskular untuk menghantarkan satu karakteristik penyakit autoimun sinyal dari serat saraf ke serat otot. pada manusia. Selama beberapa Secara patologis, dalam darah dekade terakhir telah dilakukan sebagian besar penderita miastenia penelitian tentang gejala miastenia gravis terlihat antibodi yang pada kelinci yang diimunisasi dengan menyerang protein transpor acetylcholine receptor (AchR). bergerbang asetilkolin. Oleh karena Sedangkan pada manusia yang itu, ada anggapan bahwa miastenia menderita miastenia gravis, gravis merupakan penyakit autoimun ditemukan adanya deflsiensi dari karena pada penderita ini terbentuk acetylcholine receptor (AchR) pada antibodi yang melawan saluran ion neuromuscular junction. Pada tahun teraktivasi asetilkolin miliknya 1977, karakteristik autoimun pada sendiri. Tanpa memperhatikan miastenia gravis dan peran patogenik penyebabnya, potensial lempeng dari antibodi AchR telah berhasil akhir yang timbul di dalam serat otot ditemukan melalui beberapa terlalu lemah untuk dapat penelitian. Hal ini meliputi merangsang serat otot secara adekuat. demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita imunosupresif dapat memberikan miastenia gravis, transfer pasif IgG prognosis yang baik pada penyakit pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun Ironisnya, beberapa dari terapi kompleks (IgG dan komplemen) pada ini justru diperkenalkan saat membran post sinaptik, dan efek pengetahuan dan pengertian tentang menguntungkan dari plasmaparesis imunopatogenesis masih sangat kurang (Lewis, 1995). Kemudian terdapat perkembangan dalam DEFINISI MIASTENIA GRAVIS
pengertian tentang struktur dan fungsi Miastenia gravis adalah suatu dari AchR serta interaksinya dengan kelainan autoimun yang ditandai oleh antibodi AchR. Hubungan antara suatu kelemahan abnormal dan konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi progresif pada otot rangka yang dari antibodi terhadap manifestasi dipergunakan secara terus-menerus klinik pada miastenia gravis telah dan disertai dengan kelelahan saat dianalisis dengan sangat hati-hati, dan beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard, mekanisme dimana antibodi AchR m 2008). Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan neuromuskular telah diinvestigasi otot akan pulih kembali. Penyakit ini lebih jauh (Engel , 1984). Kelainan timbul karena adanya gangguan dari miastenik yang terjadi secara genetik synoptic transmission atau pada atau kongenital, dapat terjadi karena neuromuscular junction (Ngoerah, berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi Miastenia gravis merupakan neuromuskular yang berbeda dari penyakit yang jarang ditemui, dan miastenia gravis yaitu The Lambert- dapat terjadi pada berbagai usia. Eaton Myasthenic Syndrome ternyata Biasanya penyakit ini lebih sering juga merupakan kelainan yang tampak pada usia 20-50 tahun. berbasis autoimun. Pada sindrom ini, Wanita lebih sering menderita zona partikel aktif dari membran penyakit ini dibandingkan pria. Rasio presinaptik merupakan target dari perbandingan wanita dan pria yang autoantibodi yang patogen baik menderita miastenia gravis adalah 6 secara langsung maupun tidak :4. Pada wanita, penyakit ini tampak langsung (Engel , 1984). Walaupun pada usia yang lebih muda, yaitu terdapat banyak penelitian tentang sekitar 28 tahun, sedangkan pada terapi miastenia gravis yang berbeda- pria, penyakit ini sering terjadi pada beda, tetapi tidak dapat diragukan usia 42 tahun (Ngoerah, 1991; bahwa terapi imunomodulas i dan


neuromuscular junction (Howard, ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN
BIOKIMIA NEUROMUSCULAR
Fisiologi dan Biokimia JUNCTION
Neuromuscular Junction Celah sinaps merupakan jarak antara membran Anatomi Neuromuscular Junction
presinaptik dan membran post Sebelum memahami tentang sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20- miastenia gravis, pengetahuan 30 nanometer dan terisi oleh suatu tentang anatomi dan fungsi normal lamina basalis, yang merupakan dari newomuscular junction sangatlah lapisan tipis dengan serat retikular penting. Tiap-tiap serat saraf secara seperti busa yang dapat dilalui oleh normal bercabang beberapa kali dan cairan ekstraselular secara difusi merangsang tiga hingga beberapa (Newton, 2008). Terminal presinaptik ratus serat otot rangka. Ujung-ujung mengandung vesikel yang saraf membuat suatu sambungan didalamnya berisi asetilkolin (ACh). yang disebut neuromuscular junction Asetilkolin disintesis dalam atau sambungan neuromuscular sitoplasma bagian terminal namun (Howard, 2008; Newton, 2008). dengan cepat diabsorpsi ke dalam Bagian terminal dari saraf motorik sejumlah vesikel sinaps yang kecil, melebar pada bagian akhirnya yang yang dalam keadaan normal terdapat disebut terminal bulb, yang di bagian terminal suatu lempeng terbentang diantara celah-celah yang akhir motorik (motor end plate) terdapat di sepanjang serat saraf. (Howard, 2008; Newton, 2008). Membran presinaptik (membran Bila suatu impuls saraf tiba di saraf), membran post sinaptik neuromuscular junction, kira-kira 125 (membran otot), dan celah sinaps kantong asetilkolin dilepaskan dari merupakan bagian-bagian pembentuk terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar proses ini akan membuka saluran ke seluruh terminal, maka akan Ca:+ yang sensitive terhadap terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke voltase listrik sehingga bagian dalam terminal. Ion-ion memungkinkan aliran masuk kalsium ini kemudian diduga Ca2" dari ruang sinaps ke mempunyai pengaruh tarikan terminal saraf. Ion Ca2+ ini terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa memerankan peranan yang vesikel akan bersatu ke membran esensial dalam eksositosis yang saraf dan mengeluarkan melepaskan asitilkolin (isi kurang asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. lebih 125 vesikel) ke dalam Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan 4. Asetilkolin yang dilepaskan akan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) berdifusi dengan cepat melintasi pada membran post sinaptik celah sinaps ke dalam reseptor di (Howard, 2008; Newton, 2008). dalam lipatan taut (junctional Menurut Murray (1999) secara fold), merupakan bagian yang biokimiawi keseluruhan proses pada menonjol dari motor end plate neuromuscular junction dianggap yang mengandung reseptor berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: asetilkolin (AChR) dengan 1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam kerapatan yang tinggi dan sangat sitosol terminal saraf dengan rapat dengan terminal saraf. menggunakan enzim kolin as ti Kalau 2 molekul asetilkolin 1ransferase yang mengkatalisasi terikat pada sebuah reseptor, reaksi berikut ini: Asetil-KoA+ maka reseptor ini akan Kolin a Asetilkolin + KoA mengalami perubahan bentuk 2. Asetilkolin kemudian disatukan dengan membuka saluran dalam ke dalam partikel kecil terikat- reseptor yang memungkinkan membran yang disebut vesikel aliran kation melintasi membran. sinap dan disimpan di dalam Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi 3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel membran otot sehingga terbentuk ke dalam celah sinaps merupakan potensial end plate. Keadaan ini tahap berikutnya. Peristiwa ini selanjutnya akan menimbulkan terjadi melalui eksositosis yang depolarisasi membran otot di melibatkan fusi vesikel dengan dekatnya dan terjadi potensial membran presinaptik. Dalam aksi yang ditransmisikan keadaan istirahat, kuanta tunggal disepanjang serabut saraf (sekitar 10.000 molekul sehingga timbul kontraksi otot. transmitter yang mungkin sesuai 5. Kalau saluran tersebut menutup, dengan isi satu vesikel sinaps) asetilkolin akan terurai dan akan dilepaskan secara spontan dihidrolisis oleh enzim sehingga menghasilkan potensial asetilkolinesterase yang endplate miniature yang kecil. mengkatalisasi reaksi berikut: Kalau sebuah akhir saraf Asetilkolin + H,O a Asetat + mengalami depolarisasi akibat Kolin Enzim yang penting ini transmisi sebuah impuls saraf, terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium 6. Kolin didaur ulang ke dalam dapat bergerak secara mudah terminal saraf melalui mekanisme melewati saluran tersebut, sehingga transport aktif di mana protein akan terjadi depolarisasi parsial dari tersebut dapat digunakan kembali membran post sinaptik. Peristiwa ini bagi sintesis asetilkolin. akan menyebabkan suatu perubahan Setiap reseptor asetilkolin potensial setempat pada membran merupakan kompleks protein besar serat otot yang disebut excitatory dengan saluran yang akan segera postsynaptic potential (potensial terbuka setelah melekatnya lempeng akhir). Apabila pembukaan asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari gerbang natrium telah mencukupi, 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, maka akan terjadi suatu potensial aksi dan masing-masing satu protein beta, The Neuromuscular Junction
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction (Newton, 2008). pada membran otot yang 2. Merupakan glikoprotein selanjutnya menyebabkan kontraksi bermembran dengan berat otot. (Howard, 2008; Newton, 2008). molekul sekitar275kDa. Menurut Murray (1999) beberapa 3. Mengandung lima subunit, terdiri sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscularjunction adalah 4. Hanya subunit ? yang mengikat sebagai berikut: asetilkolin dengan afinitas tinggi. 1. Merupakan reseptor nikotinik 5. Dua molekul asetilkolin harus (nikotin adalah agonis terhadap berikatan untuk membuka saluran ion, yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K4. 6. Bisa ular ?-bungarotoksin sebagai "penyakit terkait sel B", berikatan dengan erat pada dimana antibodi yang merupakan subunit - ? dan dapat digunakan produk dari sel B justru melawan untuk melabel reseptor atau reseptor asetilkolin. Peranan sel T sebagai suatu ligand berafinitas pada patogenesis miastenia gravis untuk memurnikannya. mulai semakin menonjol. Timus 7. Autoantibody terhadap reseptor merupakan organ sentral terhadap termasuk penyebab miastenia imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada Mekanisme imunogenik pasien dengan gejala miastenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia Pada pasien miastenia gravis, gravis. Observasi klinik yang antibodi IgG dikomposisikan dalam mendukung hal ini mencakup berbagai subklas yangberbeda, timbulnya kelainan autoimun yang dimana satu antibodi secara langsung terkait dengan pasien yang menderita melawan area imunogenik utama miastenia gravis, misalnya autoimun pada subunit alfa. Subunit al'fa juga tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, merupakan binding site dari arthritis rheumatoid, dan lain-lain asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin Sejak tahun 1960, telah akan mengakibatkan terhalangnya didemonstrasikan bagaimana transmisi neuromuskular melalui autoantibodi pada serum penderita beberapa cara, antara lain : ikatan miastenia gravis secara langsung silang reseptor asetilkolin terhadap melawan konstituen pada otot. Hal antibodi anti-reseptor asetilkolin dan inilah yang memegang peranan mengurangi jumlah reseptor penting pada melemahnya otot asetilkolin pada neuromuscular penderita dengan miatenia gravis. junction dengan cara menghancurkan Tidak diragukan lagi, bahwa sambungan ikatan pada membran antibody pada reseptor nikotinik post sinaptik, sehingga mengurangi asetilkolin merupakan penyebab area permukaan yang dapat utama kelemahan otot pasien dengan digunakan untuk insersi reseptor- miastenia gravis. Autoantibodi reseptor asetilkolin yang baru terhadap asetilkolin reseptor (anti- disintesis (Howard, 2008). AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya Mekanisme pasti tentang kelemahan yang berfluktuasi pada hilangnya toleransi imunologik otot rangka dan kelemahan ini akan terhadap reseptor asetilkolin pada meningkat apabila sedang penderita miastenia gravis belum beraktivitas. Penderita akan merasa sepenuhnya dapat dimengerti. ototnya sangat lemah pada siang hari Miastenia gravis dapat dikatakan dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat pallatum molle, dan laring sehingga (Howard, 2008). Gejala klinis miastenia gravis antara lain : kesukaran menelan dan Kelemahan pada otot berbicara. Paresis dari pallatum molle ekstraokular atau ptosis akan menimbulkan suara sengau. Ptosis yang merupakan salah Selain itu bila penderita minum air, satu gejala kelumpuhan nervus mungkin air itu dapat keluar dari okulomotorius, seing menjadi hidungnya. keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia KLASIFIKASI MIASTENIA
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot Menurut My asthenia Gravis okular masih bergerak normal. Tetapi Foundation of America (MGFA), pada tahap lanjut kelumpuhan otot miastenia gravis dapat okular kedua belah sisi akan diklasifikasikan sebagai berikut: melengkapi ptosis miastenia gravis7. 1) Klas I, adanya kelemahan otot- Kelemahan otot bulbar juga sering otot okular, kelemahan pada saat terjadi, diikuti dengan kelemahan menutup mata, dan kekuatan pada fleksi dan ekstensi kepala otot-otot lain normal. 2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta Gambar 3. Penderita Miastenia adanya kelemahan ringan pada Gravis yang mengalami kelemahan otot-otot lain selain otot okular. otot esktraokular (ptosis). 3) Klas lia, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. 4) Klas lib, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas Ha. 5) Klas III, terdapat kelemahan Kelemahan otot penderita yang berat pada otot-otot okular. semakin lama akan semakin Sedangkan otot-otot lain selain mcmburuk. Kelemahan tersebut akan otot-otot ocular mengalami menyebar mulai dari otot ocular, otot kelemahan tingkat sedang. wajah, otot leher, hingga ke otot 6) Klas Ilia, mempengaruhi otot- ekstremitas (Howard, 2008). otot anggota tubuh, otot-otot Sewaktu-waktu dapat pula aksial, atau keduanya secara timbul kelemahan dari otot masseter predominan. Terdapat kelemahan sehingga mulut penderita sukar untuk otot orofaringeal yang ringan. ditutup. Selain itu dapat pula timbul 7) Klas Illb, mempengaruhi otot kelemahan dari otot faring, lidah, orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya dan berbicara. Otot-otot anggota secara predominan. Terdapat tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. kelemahan otot-otot anggota Pemapasan tidak terganggu. tubuh, otot-otot aksial, atau Miastenia Gravis yang keduanya dalam derajat berlangsung secara cepat dengan 8) Klas IV, otot-otot lain selain kelemahan otot-otot okulobulbar. otot-otot okular mcngalami Pemapasan tidak terganggu. kelemahan dalam derajat yang Penderita dapat meninggal dunia. berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam DIAGNOSIS
bcrbagai derajat. 9) Klas Iva, secara predominan Penegakan Diagnosis Miastenia
mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Pemeriksaan fisik yang cermat Otot orofaringeal mengalami harus dilakukan untuk menegakkan kelemahan dalam derajat ringan. diagnosis suatu miastenia gravis. 10) Klas Ivb, mempengaruhi otot Kelemahan otot dapat muncul dalam orofaringeal, otot-otot berbagai derajat yang berbeda, pemapasan atau keduanya secara biasanya menghinggapi bagian predominan. Selain itu juga proksimal dari tubuh serta simetris di terdapat kelemahan pada otot- kedua anggota gerak kanan dan kiri. otot anggota tubuh, otot-otot Refleks tendon biasanya masih ada aksial, atau keduanya dengan dalam batas normal. Miastenia gravis derajat ringan. Penderita biasanya selalu disertai dengan mcnggunakan feeding tube tanpa adanya kelemahan pada otot wajafc. dilakukanintubasi. Kelemahan otot wajah bilateral akan 11) Klas V, penderita terintubasi, menyebabkan timbulnya a mask-like dengan atau tanpa ventilasi face dengan adanya ptosis dan mckanik. Biasanya gejala-gejala senyum yang horizontal (Howard , miastenia gravis sepeti ptosis dan 2008). Kelemahan otot bulbar juga strabismus tidak akan tarnpak sering terjadi pada penderita dengan pada waktu pagi hari. Di waktu miastenia gravis. Pada pcmeriksaan sore hari atau dalam cuaca panas, fisik, terdapat kelemahan otot-otot gejala-gejala itu akan tampak palatum, yang menyebabkan suara lebih jelas. Pada pemcriksaan, penderita seperti berada di hidung tonus otot lampaknya agak (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bcrsifat cair ke hidung penderita. Menurut Ngurah (1991) Selain itu, penderita miastenia gravis Miastenia ivis juga dapat akan mengalami kesulitan dalam dikelompokkan :ara lebih sederhana mengunyah serta menelan makanan, seperti dibawahMiastenia gravis sehingga dapat terjadi aspirasi cairan dengan ptosis atau diplopia ringan. yang menyebabbkan penderita batuk Miastenia gravis dengan ptosis, dan tersedak saat minum. Kelemahan diplopi, dan kelemahan otot-otot otot-otot rahang pada miastenia iintuk untuk mengunyah, menelan, gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga Hal ini merupakan tanda yang sangat dagu penderita harus terus ditopang penting untuk mendiagnosis suatu dengan tangan. Otot-otot leher juga miastenia gravis. Kelemahan pada mengalami kelemahan, sehingga muskulus rektus lateralis dan terjadi gangguan pada saat fleksi serta medialis akan menyebabkan ekstensi dari leher (Howard, 2008). terjadinya suatu pseudointernuclear Otot-otot anggota tubuh ophthalmoplegia, yang ditandai tertentu mengalami kelemahan lebih dengan terbatasnya kemampuan sering dibandingkan otot-otot adduksi salah satu mata yang disertai anggota tubuh yang lain, dimana otot- nistagmus pada mata yang melakukan otot anggota tubuh atas lebih sering abduksi (Howard , 2008). Menurut mengalami kelemahan dibandingkan Ngurah (1991) untuk penegakan otot-otot anggota tubuh bawah. diagnosis miastenia gravis, dapat Deltoid serta fungsi ekstensi dari dilakukan pemeriksaan sebagai otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami 1. Penderita ditugaskan untuk kelemahan. Otot trisep lebih sering menghitung dengan suara yang terpengaruh dibandingkan otot bisep. keras. Lama kelamaan akan Pada ekstremitas bawah, sering kali terdengar bahwa suaranya terjadi kelemahan saat melakukan bertambah lemah dan menjadi fleksi panggul, serta melakukan kurang terang. Penderita menjadi dorsofleksi jari-jari kaki anartri s jdan .afoni s. dibandingkan dengan melakukan 2. Penderita ditugaskan untuk plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan Kelemahan otot-otot akan timbul ptosis. Setelah suara pernapasan dapat dapat menyebabkan penderita menjadi parau atau gagal napas akut, dimana hal ini tampak ada ptosis, maka merupakan suatu keadaan gawat penderita disuruh beristirahat. darurat dan tindakan intubasi cepat Kemudian tampak bahwa sangat diperlukan. Kelemahan otot- suaranya akan kembali baik dan otot interkostal serta diafragma dapat ptosis juga tidak tampak lagi. menyebabkan retensi karbondioksida Menurut Ngurah (1991) untuk sehingga akan berakibat terjadinya memastikan diagnosis miastenia hipoventilasi. Kelemahan otot-otot gravis, dapat dilakukan beberapa tes faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang 1. Uji Tensilon (edrophonium ketat terhadap fungsi respirasi pada chloride), tmtuk uji tensilon, pasien miastenia gravis fase akut disuntikkan 2 mg tensilon secara sangat diperlukan (Howard, 2008). intravena, bila tidak terdapat Biasanya kelemahan otot-otot reaksi maka disuntikkan lagi ekstraokular terjadi secara asimetris. sebanyak 8 mg tensilon secara Kelemahan sering kali mempengaruhi intravena. Segera sesudah lebih dari satu otot ekstraokular, dan tensilon disuntikkan hendaknya tidak hanya terbatas pada otot yang diperhatikan otot-otot yang lemah diinervasi oleh satu nervus cranialis. seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila bertambah berat. Untuk uji ini, kelemahan itu benar disebabkan sebaiknya disiapkan juga injeksi oleh miastenia gravis, maka prasiigmin, agar gejala-gejala ptosis itu akan segera lenyap. miastenik tidak bertambah berat. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah hams diperhatikan dengan Pemeriksaan Penunjang untuk
sangat seksama, karcna Diagnosis Pasti
efektivitas tensilon sangat 1. Pemeriksaan Laboratorium
singkat.
Anti-asetilkolin reseptor 2. Uji Prostigmin (neostigmw), pada tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 Hasil dari pemeriksaan ini mg prostigmin merhylsulfat dapat digunakan untuk mendiagnosis secara intramuskular (bila perlu, suatu miastenia gravis, dimana diberikan pula atropin !X» atau terdapat hasil yang postitif pada 74% '/2 mg). Bila kelemahan itu benar pasien. 80% dari penderita miastenia disebabkan oleh miastenia gravis gravis generalisata dan 50% dari maka gejala-gejala seperti penderita dengan miastenia okular misalnya ptosis, strabismus atau murni menunjukkan hasil tes anti- kelemahan lain tidak lama asetilkolin reseptor antibodi yang kemudian akan lenyap. positif. Pada pasien thymoma tanpa 3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet miastenia gravis sering kali terjadi kinina masing-masing 200 mg. 3 false positive anti-AChR jam kemudian diberikan 3 tablet antibody(Howard, 2008). Menurut lagi (masing-masing 200 mg per (Howard, 2008) rata-rata titer tablet). Bila kelemahan itu benar antibody pada pemeriksaan anti- disebabkan oleh miastenia gravis, asetilkolin reseptor antibody, yang maka gejala seperti ptosis, dilakukan oleh Tidall, di sampaikan strabismus, dan lain-lain akan pada tabel berikut: Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe Osserman class
Mean antibody titer
Percent positive
Pada tabel ini menunjukkan 2. Imaging bahwa titer antibodi lebih tinggi pada Chest x-ray (foto roentgen penderita miastenia gravis dalam thorak), dapat dilakukan dalam kondisi yang parah, walaupun titer posisi anteroposterior dan lateral. tersebut tidak dapat digunakan untuk Pada roentgen thorak, thymoma memprediksikan derajat penyakit dapat diidentifikasi sebagai suatu miastenia gravis. massa pada bagian anterior Antistriated muscle (anti- SM) antibody Hasil roentgen yang negatif Merupakan salah satu tes yang belum tentu dapat menyingkirkan penting pada penderita miastenia adanya thymoma ukuran kecil, gravis. Tes ini menunjukkan hasil sehingga terkadang perlu positif pada sekitar 84% pasien yang dilakukan chest Ct-scan untuk menderita thymoma dalam usia mengidentifikasi thymoma pada kurang dari 40 tahun. Pada pasien semua kasus miastenia gravis, tanpa thymoma dengan usia lebih dari terutama pada penderita dengan 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan Anti-muscle-specific kinase sebagai pemeriksaan rutin. MRI (MuSK) antibodies. dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak Hampir 50% penderita dapat ditegakkan dengan miastenia gravis yang menunjukkan pemeriksaan penunjang lainnya hasil anti-AChR Ab negatif dan untu mencaripenyebab defisit (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk 3. Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik Antistriational antibodies dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis Repetitive Nei ve menunjukkan adanya antibody yang Stimulation (RNS), pada berikatan dalam pola cross-striational penderita miastenia gravis pada otot rangka dan otot jantung terdapat penurunan jumlah penderita. Antibodi ini bereaksi reseptor asetilkolin, sehingga dengan epitop pada reseptor protein pada RNS tidak terdapat adanya titin dan ryanodine (RyR). Antibody suatu potensial aksi. ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis Electromyography (SFEMG), pada usia muda. Terdeteksinya menggunakan jarum single-fiber, titin/RyR antibody mcrupakan suatu yang memiliki permukaan kecil kecurigaaan yang kuat akan adanya untuk merekam serat otot thymoma pada pasien muda dengan penderita. SFEMG dapat miastenia gravis. mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval karsinoma terutama oat cell interpotensial diantara 2 atau carcinoma pada paru. lebih serat otot tunggal pada EMG pada LEMS sangat motor unit yang sama) dan suatu berbeda dengan EMG pada miastenia fiber density (jumlah potensial gravis. Defek pada transmisi aksi dari serat otot tunggal yang neuromuscular terjadi pada frekuensi dapat direkam oleh jarum renah (2Hz) tetapi akan terjadi perekam). SFEMG mendeteksi ahmbatan stimulasi pada frekuensi adanya defek transmisi pada yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada neuromuscular fiber berupa miastenia gravis terjadi pada peningkatan jitter dan fiber membran postsinaptik sedangkan density yang normal. kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana Diagnosis Banding
pelepasan asetilkolin tidak berjalan Menurut Ngurah (1991) dan dengan normal, sehingga jumlah Howard (2008). Beberapa diagnosis asetilkolin yang akhirnya sampai ke banding untuk menegakkan diagnosis membran postdinaptik tidak miastenia gravis, antara lain: mencukupi untuk menimbulkan Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain: Walaupun belum ada penelitian a. Meningitis basalis (tuberkulosa tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis b. Infiltrasi karsinoma anaplastik merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi d. Paralisispascadifteri merupakan penatalaksanaan utama e. Pseudoptosis pada trachoma pada miastenia gravis. Apabila terdapat suatu diplopia Antikolinesterase biasanya digunakan yang transient maka kemungkinan pada miastenia gravis yang ringan. adanya suatu sklerosis multipleks. Sedangkan pada pasien dengan Sindrom Eaton-Lambert (Lambert- miastenia gravis generalisata, perlu Eaton Myasthenic Syndrome) dilakukan terapi imunomudulasi yang Penyakit ini dikarakteristikkan rutin (Howard , 2008). Terapi dengan adanya kelemahan dan imunosupresif dan imunomodulasi kelelahan pada otot anggota tubuh yang dikombinasikan dengan bagian proksimal dan disertai dengan pemberian antibiotik dan penunjang ke;emahan relatif pada otot-otot ventilasi, mampu menghambat ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadinya mortal itas dan terjadi peningkatan tenaga pada menurunkan morbiditas pada detik-detik awal suatu kontraksi penderita miastenia gravis. volunter, terjadi hiporefleksia, mulut Pengobatan ini dapat digolongkan kering, dan sering kali dihubungkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset magnesium, dan natrium yang dpat lebih lambat tetapi memiliki efek menimbulkan terjadinya hipotensi. yang lebih lama sehingga dapat Trombositopenia dan perubahan pada mencegah terjadinya kekambuhan berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu Terapi Jangka Pendek untuk
keadaan yang dapat dihubungkan Intervensi Keadaan Akut
dengan terjadinya perdarahan, dan Menurut Lewis (1995) terapi Jangka pemberian fresh-frozen plasma tidak Pendek untuk Intervensi Keadaan diperlukan. 2. Intravenous Akut adalah sebagai berikut Immunoglobulin (IVIG) 1. Plasma Exchange (PE) Produk tertentu dimana 99% Jumlah pasien yang mendapat merupakan IgG adalah complement- tindakan berupa hospitalisasi dan activating aggregates yang relatif intubasi dalam waktu yang lama serta aman untuk diberikan secara trakeostomi, dapat diminimalisasikan intravena. Mekanisme kerja dari karena efek dramatis dari PE. Dasar IVIG belum diketahui secara pasti, terapi dengan PE adalah pemindahan tetapi IVIG diperkirakan mampu anti-asetilkolin secara efektif. Respon memodulasi respon imun. Reduksi dari terapi ini adalah menurunnya dari titer antibody tidak dapat titer antibodi. PE paling efektif dibuktikan secara klinis, karena pada digunakan pada situasi dimana terapi sebagian besar pasien, tidak terdapat jangka pendek yang menguntungkan penurunan dari tjter antibodi. Efek menjadi prioritas. Terapi ini dari terapi dengan IVIG dapat muncul digunakan pada pasien yang akan sekitar 3-4 hari setelah memulai memasuki atau sedang mengalami terapi. IVIG diindikasikan pada masa krisis. PE dapat pasien yang juga menggunakan terapi memaksimalkan tenaga pasien yang PE, karena kedua terapi ini memiliki akan menjalani thymektomi atau onset yang cepat dengan durasi yang pasien yang kesulitan menjalani hanya beberapa minggu. Tetapi periode postoperative. Belum ada berdasarkan pengalaman dan regimen standar untuk terapi ini, beberapa data, tidak terdapat respon tetapi banyak pusat kesehatan yang yang sama antara terapi PE dengan mengganti sekitar satu volume IVIG, sehingga banyak pusat plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kesehatan yang tidak menggunakan kali terapi setiap hari. Albumin (5%) IVIG sebagai terapi awal untuk dengan larutan salin yang pasien dalam kondisi krisis. Dosis disuplementasikan dengan kalsium standar IVIG adalah 400 dan natrium dapat digunakan untuk mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, replacement. Efek PE akan muncul dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama pada 24 jam pertama dan dapat 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki bertahan hingga lebih dari 10 keuntungan klinis berupa penurunan minggu. Efek samping utama dari level anti-asetilkolin reseptor yang terapi PE adalah terjadinya dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak pergeseran cairan selama pertukaran dilakukan pemasangan infus. Efek berlangsung. Terjadi retensi kalsium, samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri imun dan efek terapi yang pasti kepala yang hebat, serta rasa mual terhadap miastenia gravis masih selama pemasangan infus, sehingga belum diketahui. Koortikosteroid tetesan infus menjadi lebih lambat. diperkirakan memiliki efek pada Flulike symdrome seperti demam, aktivasi sel T helper dan pada menggigil, mual, muntah, sakit fase proliferasi dari sel B. Sel t kepala, dan malaise dapat terjadi pada serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan Melhvlprednisolone (IVMp) dalam memposisikan IVMp diberikan dengan dosis 2 kortikosteroid di tempat kelainan gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak imun pada miastenia gravis. ada respon, maka pemberian dapat Pasien yang berespon terhadap diulangi 5 hari kemudian. Jika respon kortikosteroid akan mengalami masih juga tidak ada, maka penurunan dari titer antibodinya. pemberian dapat diulangi 5 hari Kortikosteroid diindikasikan pada kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien penderita dengan gejala klinis menunjukkan respon terhadap IVMp yang sangat menggangu, yang pada terapi kedua, sedangkan 2 tidak dapat di kontrol dengan pasien lainnya menunjukkan respon antikolinesterase. Dosis maksimal pada terapi ketiga. Efek maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan waktu sekitar 1 minggu setelah tapering pada pemberiannya. terapi. Penggunaan IVMp pada Pada penggunaan dengan dosis keadaan krisisakan dipertimbangkan diatas 30 mg setiap harinya, aka apabila terpai lain gagal atau tidak timbul efek samping berupa dapat digunakan. osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta Pengobatan Farmakologi Jangka
Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk Intervensi Keadaan Akut adalah sebagai berikut: Azathioprine biasanya 1. Kortikosteroid digunakan pada pasien miastenia Kortikosteroid adalah terapi gravis yang secara relatif yang paling lama digunakan dan terkontrol tetapi menggunakan paling murah untuk pengobatan kortikosteroid dengan dosis miastenia gravis. Respon terhadap tinggi. Azathioprine dapat pengobatan kortikosteroid mulai dikonversi menjadi tampak dalam waktu 2-3 minggu merkaptopurin, suatu analog dari setelah inisiasi terapi. Durasi purin yang memiliki efek kerja kortikosteroid dapat terhadap penghambatan sintesis berlangsung hingga 18 bulan, nukleotida pada DNA dan RNA. dengan rata-rata selama 3 bulan. Azathioprine diberikan secara Kortikosteroid memiliki efek oral dengan dosis pemeliharaan 2- yang kompleks terhadap sistem 3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari pengobatan thymoma denga atau hingga dosis optimafl tercapai. tanpa miastenia gravis sejak awal Azathioprine merupakan obat tahun 1900. Telah banyak yang secara relatif dapat dilakukan penelitian tentang ditoleransi dengan baik oleh hubungan antara kelenjar timus tubuh dan secara umum memiliki dengan kejadian miastenia gravis. efek samping yang lebih sedikit Germinal center hiperplasia timus dibandingkan dengan obat dianggap sebagai penyebab yang imunosupresif lainnya. Respon mungkin bertanggungjawab Azathioprine sangant lambat, terhadap kejadian miastenia dengan respon maksimal gravis. Penelitian terbaru didapatkan dalam 12-36 bulan. menyebutkan bahwa terdapat Kekambuhan dilaporkan terjadi faktor lain sehingga timus pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga terhadap perkembangan dan dikombinasikan dengan obat inisiasi imunologi pada miastenia imunomodulasi yang lain. gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah Cyclosporine berpengaruh tercapainya perbaikan signifikan pada produksi dan pelepasan dari kelemahan pasien, interleukin-2 dari sel T-helper. mengurangi dosis obat yang harus Supresi terhadap aktivasi sel T- dikonsumsi pasien, serta helper, menimbulkan efek pada idealnya adalah kesembuhan produksi antibodi. Dosis awal yang permanen dari pasien pemberian Cyclosporine sekitar 5 (Anonim, 2008). Banyak ahli mg/kgbb/hari terbagi dalam dua saraf memiliki pengalaman atau tiga dosis. Respon terhadap meyakinkan bahwa thymektomi Cyclosporine lebih cepat memiliki peranan yang penting dibandingkan azathioprine. untuk terapi miastenia gravis, Cyclosporine dapat menimbulkan walaupun kentungannya efek samping berupa bervariasi, sulit untuk dijelaskan nefrotoksisitas dan hipertensi. dan masih tidak dapat dibuktikan 4. 4. Cyclophosphamide (CPM) oleh standar yang seksama. CPM adalah suatu alkilating Secara umum, kebanyakan pasien agent yang berefek pada mulai mengalami perbaikan proliferasi sel B, dan secara tidak dalam waktu satu tahun setelah langsung dapat menekan sintesis thymektomi dan tidak sedikit imunoglobulin. Secara teori CPM yang menunjukkan remisi yang memiliki efek langsung terhadap permanen (tidak ada lagi produksi antibodi dibandingkan kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya 5. Thymectomy (Surgical Care) angka remisi setelah pembedahan Thymectomy telah adalah antara 20-40% tergantung digunakan untuk mengobati dari jenis thymektomi yang pasien denganmiastenia gravis dilakukan. Ahli lainnya percaya sejak tahun 1940 dan untuk bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya menimbulkan suara sengau. prosedur ekstensif adalah antara Selain itu bila penderita minum 40-60% lima hingga sepuluh tahu air, mungkin air itu dapat keluar setelah pembedahan (Anonim, 4) Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati KESIMPULAN
dengan antikolinesterase 1) Miastenia gravis adalah suatu (asetilkolinesterase inhibitor) dan kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal Antikolinesterase biasanya dan progresif pada otot rangka digunakan pada miastenia gravis yang dipergunakan secara terus- yang ringan. Sedangkan pada menerus dan disertai dengan pasien dengan miastenia gravis kelelahan saat beraktivitas. generalisata, perlu dilakukan 2) Mekanisme imunogenik terapi imunomudulasi yang rutin. memegang peranan yang sangat Terapi imunosupresif dan penting pada patofisiologi imunomodulasi yang miastenia gravis. Mekanisme dikombainasikan dengan pasti tentang hilangnya toleransi pemberian antibiotik dan imunologik terhadap reseptor penunjang ventilasi, mampu asetilkolin pada penderita menghambat terjadinya mortalitas miastenia gravis belum dan menurunkan morbiditas sepenuhnya dapat dimengcrti. pada penderita miastenia gravis. Miastenia gravis dapat dikatakan Pengobatan ini dapat digolongkan sebagai "penyakit terkait sel B", menjadi terapi yang dapat dimana antibodi yang mcrupakan memulihkan kekuatan otot secara produk dari sel B justru melawan cepat dan tepat yang memiliki reseptor asetilkolin. onset lebih lambat tetapi memiliki 3) Gejala klinis miastenia gravis efek yang lebih lama sehingga antara lain ; Kelerhahan pada otot dapat mencegah terjadinya ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin DAFTAR PUSTAKA
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot Engel, A. G. MD (1984). Myasthenia ocular, otot wajah, otot leher, Gravis and Myasthenic hingga ke otot ekstremitas. Syndromes. Ann Neurol 16: Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. sehingga mulut penderita sukar (1995). Myasthenia Gravis: untuk ditutup. Selain itu dapat Immunological Mechanisms and pula timbul kelemahan dari otot Immunotherapy. AnnNeurol. faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-kesukaran menelan dan berbicara. dasar Ilmu Penyakit Paresis daripallatum molle akan Saraf.Airlanga University Press. Page: 301-305. Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at:http://www.ninds.nih.gov/dis orders/myasthenia_gravis/detail _myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22,2008. Newton, E (2008). Myasthenia Gravis. Available at : http://en.wikipedia.Org/wiki/M yasthenia_gravis. accessed : March 22,2008. Murray RK, Granner DK, Mayes PA. (1999). Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835. Anonim (2008), Myasthenia Gravis. Available at:http://www.myasthcnia.org/dos /MGFA_Brochure_Ocular.pdi Accessed: March 22, 2008. Anonim (2008). Thymectomy, Dewa, Benny. Miastenia Gravis. Available at: [email protected]. http://www.myasthenia.org/amgJreatments.cfnx cessed March 22, 2008: Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.Penerbit EGC. Jakarta FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN LANSIA
KE POSYANDU LANSIA DI RW VII KELURAHAN WONOKUSUMO
KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA
1Fahrun Nur Rosyid, 2Musrifatul Uliyah, 3Uswatun Hasanah IBagian Keperawatan Medikal Bedah, 2Bagian keperawatan Gerontik Fakultas IlmuKesehatan UMSurabaya 3Mahasiswa SI Ilmu Keperawatan
Abstract

Under behaviour of old folks to visit Old Folks Posyandu will influence the under knowledge of old folks themselves about their health condition, because at this time healthy of people above 60 years decrease and commonly get sick. It is caused by decreasing of old folks visit Old Folks Posyandu. The purpose of this study is identifying and analyzing the effect of factors that influenced old folks to visit Posyandu. The method of this study is cross sectional method using 30 respondents. Sample collected by simple random sample technique. Statistic method used by
SPSS. The instrument that used is questionnaires and interview.
This study is using Linier regression (SPSS). It shows that p = 0.725 for Sex, it
means HO accepted (there is no influence between dependent variable and
independent variable). It also means Sex is not one of factor that influences old
folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for education, it means
HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent
variable). It also means Education is not one of factor that influences old folks
visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for job, it means HO not
accepted (there is influence between dependent variable and independent
variable). It also means Job is one of factor that influences old folks visiting to
Posyandu. The result shows that p = 0.001 for Income, it means HO not accepted
(there is influence between dependent variable and independent variable). It also
means Income is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.634 for knowledge, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
knowledge is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.109 for living place, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
living place is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu.
Conclusions of this study are Sex, Education, Knowledge, Living place aren't
factors that influence old folks visiting to Posyandu, and Job and Income are
factors that influences old folks visiting to Posyandu.
Keywords: Old Folks Posyandu, old folk's visits, factor that influence.
PENDAHULUAN
penyakit telah meningkatkan Keberhasilan dalam bidang kualitas hidup manusia dan ketidakmampuan, dan keterlambatan menjadikan rata-rata umur harapan peningkatan dan pencegahan hidup meningkat keadaan ini bisa terlihat bahwa hanya 76% lansia (Mulyani, 2009). Pada tahun yang berkunjung ke posyandu lansia. 2010 diperkirakan jumlah penduduk Tujuan penelitian ini adalah untuk lanjut usia (Lansia) di Indonesia, mengetahui faktor-faktor yang sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari mempengaruhi kunjungan lansia ke total jumlah menyebabkan jumlah posyandu lansia di RW VII usia lanjut penduduk (Hambuako, Kelurahan Wonokusumo Kecamatan 2008). Pada semakin besar. Semampir Surabaya. Permasalahan yang tahun 2007 jumlah penduduk Jawa akan timbul pada lansia yaitu : Timur Penelitian ini menggunakan sebanyak 37.790.642 jiwa, yang desain Cross sectional dengan lanjut usia mencapai 4.202.908 jiwa populasi para lansia di posyandu atau 11,2 %, dengan prosentase lansia RW 7 Wonosari Kelurahan tersebut provinsi Jawa Timur Wonokusumo Kecamatan Semampir mengalami struktur penduduk tua Surabaya dengan jumlah 32 orang. (Hasan Aminuddin, 2008), Sampel diambil 30 lansia dengan sedangkan jumlah lansia di Surabaya teknik Simple Random Sampling. di bagi menjadi dua : pra usila (45 th Variabel independen penelitian ini -59 th) terdiri dari 253.723 jiwa dan kunjungan lansia ke Posyandu yang usia lanjut (> 60 th) terdiri dari lansia,sedagkan variabel dependen 166.437 jiwa 9 (Mohammad Adib, jenis kelamin, tingkat pendidikan, 2008). Pada bulan Mei di RW VII pekerjaan, pendapatan, tingkat Kelurahan Wonokusumo Kecamatan pengetahuan dan pola tempat tinggal. Semampir Surabaya di dapatkan data Data yang terkumpul lansia (old) sebanyak 32 lansia. Dari dianalisisdengan uji statistik Regresi lansia yang berkunjung ke posyandu Linier Berganda. lansia hanya 30 lansia, dari situlah
HASIL
Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Signifikansi (p) = 0,725 Berdasarkan tabel diatas, berjenis kelamin perempuan menunjukkan sebagian besar yang sebanyak 23 orang (75,9%), dan berkunjung ke Posyandu adalah sebagian kecil adalah kunjungan 1 kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu bulan 2 kali yaitu berjenis kelamin laki-laki sebanyak 4 orang (13,2%), HO diterima berarti tidak ada kemudian dihitung dengan pengaruh, sehingga jenis kelamin menggunakan Uji Regresi Linier bukan faktor yang mempengaruhi (SPSS) didapatkan p=0,725 maka kunjungan lansia ke Posyandu lansia
Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunj ungan Lansia
Tabel 2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Tingkat Pendidikan Signifikansi (p) = 0,528 Berdasarkan tabel diatas, (6,6%), kemudian dihitung dengan menunjukkan sebagian besar yang menggunakan Uji Regresi Linier berkunjung ke Posyandu adalah (SPSS) didapatkan p=0,528 maka kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu HO doterima berarti tidak ada tingkat pendidikan SD sebanyak 14 pengaruh, sehingga tingkat orang (46,2%), dan sebagian kecil pendidikan bukan fakor yang adalah kunjungan 1 bulan 2 kali mempengaruhi kunjungan lansia ke yaitu tingkat pendidikan SMP Posyandu lansia. sebanyak 2 orang

Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia

Tabel 5.17 Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Signifikansi (p) = 0,002 Berdasarkan tabel diatas, kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu menunjukkan sebagian besar yang sebagai ibu rumah tangga sebanyak berkunjung ke Posyandu adalah 21 orang (69,3%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali p=0,002 maka HO ditolak berarti yaitu sebagai wiraswasta dan PNS ada pengaruh, sehingga pekerjaan merupakan factor yang sebanyak 2 orang (6,6%), kemudian mempengaruhi kunjungan lansia ke dihitung dengan menggunakan Uji Posyandu lansia. Regresi Linier (SPSS) didapatkan Pengaruh pendapatan terhadap kunjungan Lansia Tabel 3. Pengaruh pendapatan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009 Signifikansi (p) = 0,001 Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 24 berarti ada pengaruh, menunjukkan (6,6%), kemudian sehingga pendapatan orang (79,2%), dihitung dengan sebagian besar dan sebagian kecil adalah merupakan yang berkunjung ke menggunakan factor yang mempengaruhi Uji Regresi Linier (SPSS) Posyandu kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali kunjungan lansia ke Posyandu lansia. didapatkan p=0,001 maka HO berpendapatan rendah sebanyak 2 ditolak yaitu berpendapatan rendah
Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir pada bulan Juli tahun 2009
Tingkat pengetahuan Signifikansi (p) = 0,634 Berdasarkan tabel diatas, maka HOberpengetahuan baik berpendapatan baik sebanyak 4 sebanyak 23 diterima berarti tidak orang menunjukkan sebagian besar ada pengaruh,orang (75,9%), .dan yang (13,2%), kemudian dihitung sebagian kecil sehingga tingkat dengan berkunjung ke Posyandu pengetahuan bukan adalah adalah menggunakan Uji Regresi kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu factor Linierkunjungan 1 bulan 1 kali yang mempengaruhi kunjungan yaitu (SPSS) didapatkan p=0,634 lansia ke Posyandu lansia.
Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 5 Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Pola tempat tinggal Signifikansi(p) = 0,109 Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berjarak sedang sebanyak 13 orang (42,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjarak dekat sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan ;?=0,7 09 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. menggunakan Uji Regresi Linier PEMBAHASAN
(SPSS) didapatkan p=0,725 maka Pengaruh Jenis Kelamin
HO diterima berarti tidak ada Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia, menunjukkan sebagian pengaruh, sehingga jenis kelamin besar adalah kunjungan 1 bulan 1 bukan factor yang mempengaruhi kali lansia berjenis kelamin kunjungan lansia ke Posyandu lansia. perempuan, dan sebagian kecil Hasil uji tersebut bertolak adalah kunjungan 1 bulan 2 kali belakang dengan hasil survey lansia yang berjenis kelamin laki- Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 1993 yang menunjukkan Berdasarkan data yang telah bahwa jenis kelamin ikut diteliti, jenis kelamin di Posyandu mempengaruhi seseorang dalam RW.VII Kelurahan Wonkusumo mengambil keputusan untuk Kecamatan Semampir Surabaya, memanfaatkan fasilitas kesehatan kemudian dihitung dengan yang ada, dimana perorangan memiliki prosentase yang lebih mempengaruhi kunjungan lansia ke banyak daripada laki-laki (Isfandi, Posyandu lansia. 1999). Sedangkan menurut penelitian Menurut Notoatmojo, 1997. huygen dan Smits, perbedaan Konsep dasar pendidikan adalah diantara wanita dan pria terlihat pada suatu proses belajar yang berarti sistem rujukan ke pelayanan dalam pendidikan itu terjadi proses kesehatan yang lebih tinggi wanita. pertumbuhan, perkembangan atau dibandingkan pria (Jamal, 1996). perubahan ke arah yang lebih Dari data yang diperoleh lansia dewasa, lebih baik dan lebih matang perempuan cenderung mempunyai pada diri individu, kelompok dan perilaku yang tinggi untuk mengikuti masyarakat. Kegiatan atau proses Posyandu lansia, sebaliknya bagi belajar apabila didalamnya terjadi lansia laki-laki mempunyai perilaku perubahan dari tidak tahu menjadi cenderung sedang dan rendah. Hal tahu dari tidak mau mengerjakan ini diakibatkan perempuan lebih menjadi mau mengerjakan sesuatu, tekun dalam menghadapi tindakan namun demikian tidak semua terutama mengikuti Posyandu lansia. perubahan itu terjadi karena belajar Laki-laki tentunya cepat bosan jika saja, tetapi juga karena proses dilihat dari segi psikologis jika kematangan dari perkembangan mengikuti Posyandu lansia, jadi kesimpulannya untuk meningkatkan Tidak adanya pengaruh tingkat perilaku lansia untuk berkunjung ke pendidikan terhadap kunjungan Posyandu lansia harus melalui lansia ke posyandu lansia tersebut promosi kesehatan, ceramah, mungkin saja terjadi. Karena penyuluhan dan lain-lain. pendidikan pada dasarnya tidak hanya dapat diperoleh dari bangku Pengaruh Tingkat Pendidikan
sekolah (formal) tetapi juga di Dari hasil penelitian terhadap lingkungan keluarga, masyarakat, 30 lansia didapatkan lansia yang dan dari media lainnya (majalah, berkunjung ke posyandu sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali di tingkat pendidikan SD, dan Pengaruh Pekerjaan
sebagian kecil adalah kunjungan 1 Dari hasil penelitian terhadap bulan 2 kali di tingkat pendidikan 30 lansia didapatkan lansia yang tidak sekolah dan SMP. berkunjung ke posyandu sebagian Berdasarkan data yang telah besar adalah kunjungan 1 bulan 1 diteliti, tingkat pendidikan di kali sebagai ibu rumah tangga, dan Posyandu RW.VII Kelurahan sebagian kecil adalah kunjungan 1 Wonokusumo Kecamatan Semampir bulan 2 kali yaitu sebagai PNS. Surabaya, kemudian dihitung dengan Berdasarkan data yang telah menggunakan Uji Regresi Linier diteliti, pekerjaan di Posyandu (SPSS) didapatkan p=0,528 maka RW.VII Kelurahan Wonokusumo HOditerima berarti tidak ada Kecamatan Semampir Surabaya, pengaruh, sehingga tingkat kemudian dihitung dengan pendidikan bukan factor yang menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,002 maka HO diterima berarti ada pengaruh, mereka terima setelah bekerja. Dari sehingga pekerjaan merupakan factor hasil penelitian menunjukkan yang mempengaruhi kunjungan sebagian besar adalah kunjungan 1 lansia ke Posyandu lansia. bulan 1 kali yaitu berpendapatan Dibandingkan penduduk lansia rendah, dan sebagian kecil adalah 1 desa dan kota, masyarakat yang bulan 2 kali yaitu berpendapatan tinggal di daerah pedesaan lebih menengah dan tinggi. Berdasarkan banyak yang masih bekerja pada usia data yang telah diteliti, pendapatan di tua dibandingkan di daerah Posyandu RW.VII Kelurahan perkotaan. Alasan lansia untuk Wonokusumo Kecamatan Semampir bekerja antara lain disebabkan oleh Surabaya, kemudian dihitung dengan jaminan sosial dan kesehatan yang menggunakan Uji Regresi Linier masih kurang. Disamping hal (SPSS) didapatkan p=0,001 maka tersebut desa akan ekonomi HO ditolak berarti ada pengaruh, merupakan hal pendorong untuk sehingga pendapatan merupakan mereka bekerja dan mencari factor yang mempengaruhi pekerjaan. Hal ini dimungkinan, kunjungan lansia ke Posyandu lansia. karena pada umumnya keadaan fisik, Secara ekonomi, keadaan mental dan emosional mereka masih financial para lansia jelas tidak baik (Hardywinoto dan Setiabudhi, seperti waktu muda. Bila lansia 1999). Mernurut Wilson tahun 1992, termasuk golongan yang bekerja keadaan terjadi bila seseorang mengandalkan otot seperti pekerja bekerja terlalu keras dengan kondisi kasar, tukang becak, petani, buruh, perekonomian yang pas-pasan serta dll dalam menginjak umur tua berpendidikan rendah dimana kemampuan pasti berkurang akan pengertian tentang kesehatan adalah pada suatu saat mungkin tidak minimal dan akses terhadap sanggup lagi melakukan pekerjaan informasi juga terbatas (Astuti, tersebut. Oleh sebab itu pendapatan orang tersebut pasti akan menurun Dari Hasil penelitian terhadap (Mangunditoirja, 1995). Kemampuan faktor yang mempengaruhi ekonomi menjadisalah satu faktor penggunaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Buhari dalam orang u n t u k memanfaatkan Sudjilah, 1989 antara lain adanya fasilitas kesehatan ataupun untuk pengaruh faktor sistem pelayanan pergi ke tempat aktifitas sosial kesehatan yaitu tersedianya tenaga (Isfandi, 1999). kesehatan serta faktor dari konsumen Dari Hasil penelitian terhadap yang menggunakan pelayanan faktor yang mempengaruhi kesehatan yaitu pendidikan, penggunaan fasilitas kesehatan yang pekerjaan, pendapatan. dilakukan oleh Buhari dalam Sudjilah, 1989 antara lain adanya Pengaruh Pendapatan
pengaruh faktor sistem pelayanan Pendapatan berkaitan erat kesehatan yaitu tersedianya tenaga dengan pekerjaan responden, karena kesehatan serta faktor dari konsumen pendapatan pada umumnya yang menggunakan pelayanan bersumber dari gaji atau upah yang kesehatan yaitu pendidikan, pengetahuan tentang posyandu yang pekerjaan, pendapatan. baik belum tentu man berkunjung ke Pengaruh Pengetahuan
Dari hasil penelitian terhadap Pengaruh Pola Tempat Tinggal
30 lansia di dapatkan sebagian besar Pada penelitian terhadap pola adalah kunjungan 1 bulan 1 kali tempat tinggal lansia, disini mcmakai yaitu berpengetahuan baik, dan klasifikasi jarak rumah ke pelayanan sebagian kecil adalah kunjungan 1 kesehatan (posyandu). Dari hasil bulan 2 kali yaitu berpengetahuan penelitian terhadap 30 lansia di dapatkan sebagian besar adalah Berdasarkan data yang telah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu diteliti, pengetahuan di Posyandu bcrjarak dekat dengan pelayanan RW.VII Kelurahan Wonokusumo kesehatan (posyandu), dan sebagian Kecamatan Semampir Surabaya, kecil adalah berjarak jauh dengan kemudian dihitung dengan pelayanan kesehatan (Posyandu). menggunakan Uji Regresi Linier Berdasarkan data yang telah (SPSS) didapatkan/7=r;,634 maka diteliti, pengetahuan di Posyandu HO diterima berarti tidak ada RW.VII Kelurahan Wonokusumo pengaruh, sehingga pengetahuan Kecamatan Semampir Surabaya, bukan factor yang mempengaruhi kemudian dihitung dengan kunjungan lansia ke Posyandu lansia. menggunakan Uji Regresi Linier Hasil penelitian tersebut sesuai (SPSS) didapatkan p=OJ09 maka dengan yang dikemukakan oleh HO diterima berarti tidak ada NoToatmodjo, 1993 bahwa pengaruh, sehingga pola tempat pengetahuan adalah merupakan hasil tinggal bukan merupakan factor yang dari tahu dan ini terjadi setelah orang mempengaruhi kunjungan lansia ke melakukan penginderaan terhadap Posyandu lansia. suatu obyek tertentu. Penginderaan Menurut pendapat H.L. Bloom, terjadi mclalui panca indera manusia. bahwa perilaku mempunyai peranan Sebagian besar pengetahuan manusia yang besar terhadap derajat diperoleh dari mata dan telinga. kesehatan setelah pengaruh Pengetahuan atau kognitif lingkungan, sedangkan faktor adanya merupakan domain yang sangat pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh lebih kecil daripada faktor tindakan seseorang (ovent perilaku. Sedangkan menurut Green bahwa perilaku seseorang atau Tingkat pengetahuan seseorang masyarakat tentang kesehatan tidak selalu memotivasi prilaku ditentukan oleh pengetahuan, sikap, logika, artinya pengetahuan yang kepercayaan, tradisi dan sebagainya baik (lansia yang tahu tentang dari orang atau masyarakat yang pengertian Posyandu, tujuan bcrsangkutan. Disamping itu. Posyandu, bentuk pelayanan ketersediaan fasilitas, sikap dan Posyandu, dan Mekanisme perilaku para petugas kesehatan Posyandu) tidak selalu memimpin terhadap kesehatan juga akan perilaku yang benar dalam hal ini mendukung dan memperkuat Astuti, Endang. P. 2000.Faktor- terbentuknya perilaku. Faktor Yang Mendorong Seorang lansia yang tidak mau Lansia Tetap Bekerja di Sektor datang ke posyandu disebabkan Pertanian. Skripsi. Universitas karena orang tersebut tidak atau belum tahu manfaat posyandu. Tetapi barangkali juga rumahnya Darmojo, R. 2000. Buku Ajar jauh dengan posyandu atau mungkin Geriatri Edisi 1. Balai Pustaka karena para petugas kesehatan kurang ramah atau tokoh masyarakat Departemen Kesehatan RI, 2000. lain disekitarnya tidak pernah ke Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia bagi Petugas Kesehatan I. Jakarta : SIMPULAN DAN SARAN
Departemen Kesehatan. Sebagian besar lansia yang yang berkunjung ke Posyandu lansia Departemen Kesehatan RI, 2000. berjenis kelamin perempuan, tingkat Pedoman Pembinaan pendidikan SD, ibu rumah tangga, Kesehatan Usia Lanjut bagi berpendapatan rendah, dan memiliki Petugas Kesehatan II. Jakarta : pengetahuan yang baik. Departemen Kesehatan Masyarakat yang menjadi kader kesehatan dan bimbingan dari Lindepok. 2008. All Bout puskesmas diharapkan lebih Posyandu. memotivasi lansia untuk berkunjung http://iinaza.wordpres s.com. ke Posyandu lansia. Diakses rabu tanggal 8 April 2009, jam 11.00 WIB DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz AH. 2007. Metode Isfandari, Siti. (199). Pemanfaatan Penelitian Keperawatan dan Fasilitas Kesehatan Pada Tehnik Analisis Data. Edisi I. Golongan 50 Tahun ke Atas. Salemba Medika. Jakarta Analisis Lanjut IFLS 1993. Jurnal Epidemologi Nasional. Amrul, Fauzi. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penwunan Minat Lansia Jamal, Sarjani. 1996. Wanita dan Terhadap Posyandu Lansia di Pria Dalam Karakteristik Desa Pagak Kecamatan Pagak Kabupaten Making. Malang: Epidmologi Nasional Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Jenner, B. 1997. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Kuncoro, Zainuddin Sri. 2002. Praktek, edisi revisi v, Jakarta: Masalah Kesehatan Jiwa psikologi.com. Diakses tanggal Nurkusuma, Dudy D. 2001. Posyandu Lanjut Usia di Kusuma, Fitria Trisna. 2008. Skripsi: Puskesmas Pare Kabupaten Pengaruh Pelatihan Posyandu Temanggung. Lansia Terhadap Kinerja http://www.tempo.co.id Kader di Kelurahan Bulukerto Diakses tanggal 11 Mei 2009 Magetan. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Nursalam. 2003. Konsep & Airlangga. Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian logspot.com. Diakses tanggal Keperawatan. 28 Juni 2009 jam: 10:49. Mangundiwirja, Daldiri. 1995. Pemkot Jogja, 2007. Pemkot Jogja P Masalah-Masalah Yang e d u I i Lansia. Dihadapi Lansia Indonesia Tahun 2000. Seminar Nasional d Diakses tanggal 11 Mei 2009 Problematic Manula Menggapai R.Boedhi Darmojo,dkk. 2006. Buku Harapan di Penghujung Dunia Ajar Geriatri. Edisi ke-3. Surabaya: Yayasan Cetakan ke-2. Jakarta : Pendidikan Tinggi Da'wah Fakultas Kesehatan Universitas Islam JawaTimur. Mulyani, Slamet. 2009. Hubungan Sa'adah, H.D. 2008. Skripsi : Antara Pengetahuan Tentang Pengaruh Latihan Fleksi Kegiatan Posyandu Lansia William (Stretching) Terhadap Dengan Partisipasi Lansia di Tingkat Nyeri Punggung Posyandu Wilayah Puskesmas Patuk 1 Kabupaten Gunung K i Bawah Pada Lansia di Posyandu d u 1 . http Lansia RW 2 D e s a ://keperawatankomunitas .b Kedungkandang Malang. logspot.com. Diakses tanggal Surabaya : Fakultas llMei 2009 jam: 11:34 Kedokteran Universitas A i r 1 Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. P engantar Pendidikan Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Kesehatan dan Ilmu Penilaian. Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Ed 2. Sulistyani. 2001. Skripsi :Faktor- Wijayanti, I.K. 2008. Skripsi : Faktor yang Mempengaruhi Pengaruh Strength Training Keaktifan Lansia untukDatang Terhadap Peningkatan ke Posyandu Lansia (Studi Keseimbangan Postural Pada Kasus di Posyandu Lansia Lansia Dengan Nyeri Sendi L u Desa Trihanggo Kecamatan t u t d i Posyandu Lansia Camping Kabupaten Sleman "ISWORO" Kelurahan Taman Daerah Istimewa Yogyakarta). Kota Madiun. Surabaya: Surabaya: Fakultas Kesehatan Fakultas Keperawatan Masyarakat Universitas Universitas Airlangga.

Source: http://fik.um-surabaya.ac.id/sites/default/files/jurnall/HEALTH%20SCIENCES%20(FEBRUARI%202010).pdf

Makeup

SK is happy to present the Annual Report for the year 2010. The report endeavors to communicate to the readers the tasks accomplished by the organization over the defined period, the challenges met and Aalso the emerging issues it had to deal with. Needless to say it would not have been possible to achieve many of the goals without the assistance provided by different sections of people. Planning, Monitoring and Evaluation unit of ASK prepared the report by collecting and compiling information from different programmes. All the staff including the Executive Director and members went through the draft and commented upon it. ASK

September 25, 200

Takeda Receives Simultaneous European Marketing Authorization for Three New Type 2 Diabetes Therapies, VipidiaTM (alogliptin) and Fixed-Dose Combinations VipdometTM (alogliptin and metformin) and IncresyncTM (alogliptin and pioglitazone) Osaka, Japan, September 24, 2013 – Takeda Pharmaceutical Company Limited (Takeda) today announced that the European Commission has granted Marketing Authorization (MA) for VipidiaTM (alogliptin), a dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) inhibitor, for the treatment of type 2 diabetes patients who are uncontrolled on existing therapies1-3and for the fixed-dose combination (FDC) therapies VipdometTM (alogliptin with metformin) and IncresyncTM (alogliptin with pioglitazone). The Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP), of the European Medicines Agency (EMA), issued a positive opinion for these products on July 26, 2013.