Fik.um-surabaya.ac.id
MENGENAL TENTANG MIASTENIA GRAVIS DAN
Fahrun Nur Rosyid
Bagian Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Email: [email protected]
Abstract
Myastenia gravis may cause paralysis due to the mobility of neuromuscular
connections to deliver signals from nerve fibers to muscle fiber. This disease
occurs due to disruption of synaptic transmission at neuromuscular junction.
Prior understanding of myastenia gravis, knowledge of anatomy and normal
function of the neuromuscular junction is very important. Presinaptic membrane
(membrane of nerve), post synaptic membrane (muscle membrane), and the
synapse is a gap forming parts of the neuromuscular junction. Immunoigenic
mechanism plays a very important in the pathophysiology myastenia gravis where
antibodies are the product ofB cells in fact against the acethylcholine receptor.
Management myasatenia gravis can be done with drugs thymomectomy or with
immunomodulating and immunosuppressive therapy that can provide a good
prognosis in mystenia gravis healing.
Key word: Mystenia gravis, and management.
PENDAHULUAN
Bila penyakit tersebut cukup parah,
Miastenia gravis, yang terjadi
penderita meninggal akibat paralisis
pada kira-kira 1 dari 20.000 orang,
terutama, paralisis otot pernapasan
menyebabkan kelumpuhan akibat
(Guyton & Hall, 1997).
ketidakmampuan sambungan
Miastenia gravis adalah salah
neuromuskular untuk menghantarkan
satu karakteristik penyakit autoimun
sinyal dari serat saraf ke serat otot.
pada manusia. Selama beberapa
Secara patologis, dalam darah
dekade terakhir telah dilakukan
sebagian besar penderita miastenia
penelitian tentang gejala miastenia
gravis terlihat antibodi yang
pada kelinci yang diimunisasi dengan
menyerang protein transpor acetylcholine receptor (AchR). bergerbang asetilkolin. Oleh karena
Sedangkan pada manusia yang
itu, ada anggapan bahwa miastenia
menderita miastenia gravis,
gravis merupakan penyakit autoimun
ditemukan adanya deflsiensi dari
karena pada penderita ini terbentuk
acetylcholine receptor (AchR) pada
antibodi yang melawan saluran ion
neuromuscular junction. Pada tahun
teraktivasi asetilkolin miliknya
1977, karakteristik autoimun pada
sendiri. Tanpa memperhatikan miastenia gravis dan peran patogenik penyebabnya, potensial lempeng
dari antibodi AchR telah berhasil
akhir yang timbul di dalam serat otot
ditemukan melalui beberapa
terlalu lemah untuk dapat penelitian. Hal ini meliputi merangsang serat otot secara adekuat.
demonstrasi tentang sirkulasi antibodi
AchR pada hampir 90% penderita
imunosupresif dapat memberikan
miastenia gravis, transfer pasif IgG
prognosis yang baik pada penyakit
pada beberapa bentuk penyakit dari
manusia ke tikus, lokalisasi imun
Ironisnya, beberapa dari terapi
kompleks (IgG dan komplemen) pada
ini justru diperkenalkan saat
membran post sinaptik, dan efek
pengetahuan dan pengertian tentang
menguntungkan dari plasmaparesis
imunopatogenesis masih sangat
kurang (Lewis, 1995).
Kemudian terdapat
perkembangan dalam
DEFINISI MIASTENIA GRAVIS
pengertian tentang struktur dan fungsi
Miastenia gravis adalah suatu
dari AchR serta interaksinya dengan
kelainan autoimun yang ditandai oleh
antibodi AchR. Hubungan antara
suatu kelemahan abnormal dan
konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi
progresif pada otot rangka yang
dari antibodi terhadap manifestasi
dipergunakan secara terus-menerus
klinik pada miastenia gravis telah
dan disertai dengan kelelahan saat
dianalisis dengan sangat hati-hati, dan
beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard,
mekanisme dimana antibodi AchR m
2008). Bila penderita beristirahat,
maka tidak lama kemudian kekuatan
neuromuskular telah diinvestigasi
otot akan pulih kembali. Penyakit ini
lebih jauh (Engel , 1984). Kelainan
timbul karena adanya gangguan dari
miastenik yang terjadi secara genetik
synoptic transmission atau pada
atau kongenital, dapat terjadi karena
neuromuscular junction (Ngoerah,
berbagai faktor. Hal ini menyebabkan
sindrom miastenik kongenital banyak
diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya,
kelainan pada transmisi
Miastenia gravis merupakan
neuromuskular yang berbeda dari
penyakit yang jarang ditemui, dan
miastenia gravis yaitu The Lambert-
dapat terjadi pada berbagai usia.
Eaton Myasthenic Syndrome ternyata
Biasanya penyakit ini lebih sering
juga merupakan kelainan yang
tampak pada usia 20-50 tahun.
berbasis autoimun. Pada sindrom ini,
Wanita lebih sering menderita
zona partikel aktif dari membran
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
presinaptik merupakan target dari
perbandingan wanita dan pria yang
autoantibodi yang patogen baik
menderita miastenia gravis adalah 6
secara langsung maupun tidak
:4. Pada wanita, penyakit ini tampak
langsung (Engel , 1984). Walaupun
pada usia yang lebih muda, yaitu
terdapat banyak penelitian tentang
sekitar 28 tahun, sedangkan pada
terapi miastenia gravis yang berbeda-
pria, penyakit ini sering terjadi pada
beda, tetapi tidak dapat diragukan
usia 42 tahun (Ngoerah, 1991;
bahwa terapi imunomodulas i dan
neuromuscular junction (Howard,
ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN
BIOKIMIA NEUROMUSCULAR
Fisiologi dan Biokimia
JUNCTION
Neuromuscular Junction Celah sinaps
merupakan jarak antara membran
Anatomi Neuromuscular Junction
presinaptik dan membran post
Sebelum memahami tentang
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-
miastenia gravis, pengetahuan 30 nanometer dan terisi oleh suatu tentang anatomi dan fungsi normal
lamina basalis, yang merupakan
dari newomuscular junction sangatlah
lapisan tipis dengan serat retikular
penting. Tiap-tiap serat saraf secara
seperti busa yang dapat dilalui oleh
normal bercabang beberapa kali dan
cairan ekstraselular secara difusi
merangsang tiga hingga beberapa
(Newton, 2008). Terminal presinaptik
ratus serat otot rangka. Ujung-ujung
mengandung vesikel yang
saraf membuat suatu sambungan
didalamnya berisi asetilkolin (ACh).
yang disebut neuromuscular junction
Asetilkolin disintesis dalam
atau sambungan neuromuscular
sitoplasma bagian terminal namun
(Howard, 2008; Newton, 2008).
dengan cepat diabsorpsi ke dalam
Bagian terminal dari saraf motorik
sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
melebar pada bagian akhirnya yang
yang dalam keadaan normal terdapat
disebut terminal bulb, yang di bagian terminal suatu lempeng terbentang diantara celah-celah yang
akhir motorik (motor end plate)
terdapat di sepanjang serat saraf.
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Membran presinaptik (membran
Bila suatu impuls saraf tiba di
saraf), membran post sinaptik
neuromuscular junction, kira-kira 125
(membran otot), dan celah sinaps
kantong asetilkolin dilepaskan dari
merupakan bagian-bagian pembentuk
terminal masuk ke dalam celah
sinaps. Bila potensial aksi menyebar
proses ini akan membuka saluran
ke seluruh terminal, maka akan
Ca:+ yang sensitive terhadap
terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
voltase listrik sehingga
bagian dalam terminal. Ion-ion
memungkinkan aliran masuk
kalsium ini kemudian diduga
Ca2" dari ruang sinaps ke
mempunyai pengaruh tarikan
terminal saraf. Ion Ca2+ ini
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa
memerankan peranan yang
vesikel akan bersatu ke membran
esensial dalam eksositosis yang
saraf dan mengeluarkan
melepaskan asitilkolin (isi kurang
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
lebih 125 vesikel) ke dalam
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan
dengan reseptor asetilkolin (AChRs)
berdifusi dengan cepat melintasi
pada membran post sinaptik
celah sinaps ke dalam reseptor di
(Howard, 2008; Newton, 2008).
dalam lipatan taut (junctional
Menurut Murray (1999) secara
fold), merupakan bagian yang
biokimiawi keseluruhan proses pada
menonjol dari motor end plate
neuromuscular junction dianggap
yang mengandung reseptor
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
asetilkolin (AChR) dengan
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam
kerapatan yang tinggi dan sangat
sitosol terminal saraf dengan
rapat dengan terminal saraf.
menggunakan enzim kolin as ti
Kalau 2 molekul asetilkolin
1ransferase yang mengkatalisasi
terikat pada sebuah reseptor,
reaksi berikut ini: Asetil-KoA+
maka reseptor ini akan
Kolin a Asetilkolin + KoA
mengalami perubahan bentuk
2. Asetilkolin kemudian disatukan
dengan membuka saluran dalam
ke dalam partikel kecil terikat-
reseptor yang memungkinkan
membran yang disebut vesikel
aliran kation melintasi membran.
sinap dan disimpan di dalam
Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel
membran otot sehingga terbentuk
ke dalam celah sinaps merupakan
potensial end plate. Keadaan ini
tahap berikutnya. Peristiwa ini
selanjutnya akan menimbulkan
terjadi melalui eksositosis yang
depolarisasi membran otot di
melibatkan fusi vesikel dengan
dekatnya dan terjadi potensial
membran presinaptik. Dalam
aksi yang ditransmisikan
keadaan istirahat, kuanta tunggal
disepanjang serabut saraf
(sekitar 10.000 molekul
sehingga timbul kontraksi otot.
transmitter yang mungkin sesuai
5. Kalau saluran tersebut menutup,
dengan isi satu vesikel sinaps)
asetilkolin akan terurai dan
akan dilepaskan secara spontan
dihidrolisis oleh enzim
sehingga menghasilkan potensial
asetilkolinesterase yang
endplate miniature yang kecil.
mengkatalisasi reaksi berikut:
Kalau sebuah akhir saraf
Asetilkolin + H,O a Asetat +
mengalami depolarisasi akibat
Kolin Enzim yang penting ini
transmisi sebuah impuls saraf,
terdapat dengan jumlah yang
besar dalam lamina basalis
delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium
6. Kolin didaur ulang ke dalam
dapat bergerak secara mudah
terminal saraf melalui mekanisme
melewati saluran tersebut, sehingga
transport aktif di mana protein
akan terjadi depolarisasi parsial dari
tersebut dapat digunakan kembali
membran post sinaptik. Peristiwa ini
bagi sintesis asetilkolin.
akan menyebabkan suatu perubahan
Setiap reseptor asetilkolin
potensial setempat pada membran
merupakan kompleks protein besar
serat otot yang disebut excitatory
dengan saluran yang akan segera
postsynaptic potential (potensial
terbuka setelah melekatnya lempeng akhir). Apabila pembukaan asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari
gerbang natrium telah mencukupi,
5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa,
maka akan terjadi suatu potensial aksi
dan masing-masing satu protein beta,
The Neuromuscular Junction
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction (Newton, 2008). pada membran otot yang
2. Merupakan glikoprotein
selanjutnya menyebabkan kontraksi
bermembran dengan berat
otot. (Howard, 2008; Newton, 2008).
molekul sekitar275kDa.
Menurut Murray (1999) beberapa
3. Mengandung lima subunit, terdiri
sifat dari reseptor asetilkolin di
neuromuscularjunction adalah
4. Hanya subunit ? yang mengikat
sebagai berikut:
asetilkolin dengan afinitas tinggi.
1. Merupakan reseptor nikotinik
5. Dua molekul asetilkolin harus
(nikotin adalah agonis terhadap
berikatan untuk membuka saluran
ion, yang memungkinkan aliran baik Na+ maupun K4.
6. Bisa ular ?-bungarotoksin sebagai "penyakit terkait sel B",
berikatan dengan erat pada
dimana antibodi yang merupakan
subunit - ? dan dapat digunakan
produk dari sel B justru melawan
untuk melabel reseptor atau
reseptor asetilkolin. Peranan sel T
sebagai suatu ligand berafinitas
pada patogenesis miastenia gravis
untuk memurnikannya.
mulai semakin menonjol. Timus
7. Autoantibody terhadap reseptor
merupakan organ sentral terhadap
termasuk penyebab miastenia
imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada
Mekanisme imunogenik
pasien dengan gejala miastenik
memegang peranan yang sangat
penting pada patofisiologi miastenia
Pada pasien miastenia gravis,
gravis. Observasi klinik yang
antibodi IgG dikomposisikan dalam
mendukung hal ini mencakup
berbagai subklas yangberbeda,
timbulnya kelainan autoimun yang
dimana satu antibodi secara langsung
terkait dengan pasien yang menderita
melawan area imunogenik utama
miastenia gravis, misalnya autoimun
pada subunit alfa. Subunit al'fa juga
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus,
merupakan binding site dari
arthritis rheumatoid, dan lain-lain
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin
Sejak tahun 1960, telah
akan mengakibatkan terhalangnya
didemonstrasikan bagaimana
transmisi neuromuskular melalui
autoantibodi pada serum penderita
beberapa cara, antara lain : ikatan
miastenia gravis secara langsung
silang reseptor asetilkolin terhadap
melawan konstituen pada otot. Hal
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
inilah yang memegang peranan
mengurangi jumlah reseptor
penting pada melemahnya otot
asetilkolin pada neuromuscular
penderita dengan miatenia gravis.
junction dengan cara menghancurkan
Tidak diragukan lagi, bahwa
sambungan ikatan pada membran
antibody pada reseptor nikotinik
post sinaptik, sehingga mengurangi
asetilkolin merupakan penyebab
area permukaan yang dapat
utama kelemahan otot pasien dengan
digunakan untuk insersi reseptor-
miastenia gravis. Autoantibodi reseptor asetilkolin yang baru terhadap asetilkolin reseptor (anti-
disintesis (Howard, 2008).
AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata
Miastenia gravis
dikarakteristikkan melalui adanya
Mekanisme pasti tentang kelemahan yang berfluktuasi pada
hilangnya toleransi imunologik
otot rangka dan kelemahan ini akan
terhadap reseptor asetilkolin pada
meningkat apabila sedang
penderita miastenia gravis belum
beraktivitas. Penderita akan merasa
sepenuhnya dapat dimengerti. ototnya sangat lemah pada siang hari Miastenia gravis dapat dikatakan
dan kelemahan ini akan berkurang
apabila penderita beristirahat pallatum molle, dan laring sehingga (Howard, 2008). Gejala klinis
miastenia gravis antara lain :
kesukaran menelan dan
Kelemahan pada otot berbicara. Paresis dari pallatum molle
ekstraokular atau ptosis
akan menimbulkan suara sengau.
Ptosis yang merupakan salah
Selain itu bila penderita minum air,
satu gejala kelumpuhan nervus
mungkin air itu dapat keluar dari
okulomotorius, seing menjadi hidungnya. keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia
KLASIFIKASI MIASTENIA
gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot
Menurut My asthenia Gravis
okular masih bergerak normal. Tetapi
Foundation of America (MGFA),
pada tahap lanjut kelumpuhan otot
miastenia gravis dapat
okular kedua belah sisi akan
diklasifikasikan sebagai berikut:
melengkapi ptosis miastenia gravis7.
1) Klas I, adanya kelemahan otot-
Kelemahan otot bulbar juga sering
otot okular, kelemahan pada saat
terjadi, diikuti dengan kelemahan
menutup mata, dan kekuatan
pada fleksi dan ekstensi kepala
otot-otot lain normal.
2) Klas II, terdapat kelemahan otot
okular yang semakin parah, serta
Gambar 3. Penderita Miastenia
adanya kelemahan ringan pada
Gravis yang mengalami kelemahan
otot-otot lain selain otot okular.
otot esktraokular (ptosis).
3) Klas lia, mempengaruhi otot-otot
aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4) Klas lib, mempengaruhi otot-otot
orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas Ha.
5) Klas III, terdapat kelemahan
Kelemahan otot penderita
yang berat pada otot-otot okular.
semakin lama akan semakin
Sedangkan otot-otot lain selain
mcmburuk. Kelemahan tersebut akan
otot-otot ocular mengalami
menyebar mulai dari otot ocular, otot
kelemahan tingkat sedang.
wajah, otot leher, hingga ke otot
6) Klas Ilia, mempengaruhi otot-
ekstremitas (Howard, 2008).
otot anggota tubuh, otot-otot
Sewaktu-waktu dapat pula
aksial, atau keduanya secara
timbul kelemahan dari otot masseter
predominan. Terdapat kelemahan
sehingga mulut penderita sukar untuk
otot orofaringeal yang ringan.
ditutup. Selain itu dapat pula timbul
7) Klas Illb, mempengaruhi otot
kelemahan dari otot faring, lidah,
orofaringeal, otot-otot
pernapasan, atau keduanya
dan berbicara. Otot-otot anggota
secara predominan. Terdapat
tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.
kelemahan otot-otot anggota
Pemapasan tidak terganggu.
tubuh, otot-otot aksial, atau
Miastenia Gravis yang
keduanya dalam derajat
berlangsung secara cepat dengan
8) Klas IV, otot-otot lain selain
kelemahan otot-otot okulobulbar.
otot-otot okular mcngalami
Pemapasan tidak terganggu.
kelemahan dalam derajat yang
Penderita dapat meninggal dunia.
berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam
DIAGNOSIS
bcrbagai derajat.
9) Klas Iva, secara predominan
Penegakan Diagnosis Miastenia
mempengaruhi otot-otot anggota
tubuh dan atau otot-otot aksial.
Pemeriksaan fisik yang cermat
Otot orofaringeal mengalami
harus dilakukan untuk menegakkan
kelemahan dalam derajat ringan.
diagnosis suatu miastenia gravis.
10) Klas Ivb, mempengaruhi otot
Kelemahan otot dapat muncul dalam
orofaringeal, otot-otot
berbagai derajat yang berbeda,
pemapasan atau keduanya secara
biasanya menghinggapi bagian
predominan. Selain itu juga
proksimal dari tubuh serta simetris di
terdapat kelemahan pada otot-
kedua anggota gerak kanan dan kiri.
otot anggota tubuh, otot-otot
Refleks tendon biasanya masih ada
aksial, atau keduanya dengan
dalam batas normal. Miastenia gravis
derajat ringan. Penderita biasanya selalu disertai dengan mcnggunakan feeding tube tanpa
adanya kelemahan pada otot wajafc.
dilakukanintubasi.
Kelemahan otot wajah bilateral akan
11) Klas V, penderita terintubasi,
menyebabkan timbulnya a mask-like
dengan atau tanpa ventilasi
face dengan adanya ptosis dan
mckanik. Biasanya gejala-gejala
senyum yang horizontal (Howard ,
miastenia gravis sepeti ptosis dan
2008). Kelemahan otot bulbar juga
strabismus tidak akan tarnpak
sering terjadi pada penderita dengan
pada waktu pagi hari. Di waktu
miastenia gravis. Pada pcmeriksaan
sore hari atau dalam cuaca panas,
fisik, terdapat kelemahan otot-otot
gejala-gejala itu akan tampak
palatum, yang menyebabkan suara
lebih jelas. Pada pemcriksaan,
penderita seperti berada di hidung
tonus otot lampaknya agak
(nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang
bcrsifat cair ke hidung penderita.
Menurut Ngurah (1991) Selain itu, penderita miastenia gravis
Miastenia ivis juga dapat akan mengalami kesulitan dalam dikelompokkan :ara lebih sederhana
mengunyah serta menelan makanan,
seperti dibawahMiastenia gravis
sehingga dapat terjadi aspirasi cairan
dengan ptosis atau diplopia ringan.
yang menyebabbkan penderita batuk
Miastenia gravis dengan ptosis,
dan tersedak saat minum. Kelemahan
diplopi, dan kelemahan otot-otot
otot-otot rahang pada miastenia
iintuk untuk mengunyah, menelan,
gravis menyebakan penderita sulit
untuk menutup mulutnya, sehingga
Hal ini merupakan tanda yang sangat
dagu penderita harus terus ditopang
penting untuk mendiagnosis suatu
dengan tangan. Otot-otot leher juga
miastenia gravis. Kelemahan pada
mengalami kelemahan, sehingga
muskulus rektus lateralis dan
terjadi gangguan pada saat fleksi serta
medialis akan menyebabkan
ekstensi dari leher (Howard, 2008).
terjadinya suatu pseudointernuclear
Otot-otot anggota tubuh ophthalmoplegia, yang ditandai
tertentu mengalami kelemahan lebih
dengan terbatasnya kemampuan
sering dibandingkan otot-otot adduksi salah satu mata yang disertai anggota tubuh yang lain, dimana otot-
nistagmus pada mata yang melakukan
otot anggota tubuh atas lebih sering
abduksi (Howard , 2008). Menurut
mengalami kelemahan dibandingkan
Ngurah (1991) untuk penegakan
otot-otot anggota tubuh bawah.
diagnosis miastenia gravis, dapat
Deltoid serta fungsi ekstensi dari
dilakukan pemeriksaan sebagai
otot-otot pergelangan tangan serta
jari-jari tangan sering kali mengalami
1. Penderita ditugaskan untuk
kelemahan. Otot trisep lebih sering
menghitung dengan suara yang
terpengaruh dibandingkan otot bisep.
keras. Lama kelamaan akan
Pada ekstremitas bawah, sering kali
terdengar bahwa suaranya
terjadi kelemahan saat melakukan
bertambah lemah dan menjadi
fleksi panggul, serta melakukan
kurang terang. Penderita menjadi
dorsofleksi jari-jari kaki
anartri s jdan .afoni s.
dibandingkan dengan melakukan
2. Penderita ditugaskan untuk
plantarfleksi jari-jari kaki (Howard,
mengedipkan matanya secara
terus-menerus. Lama kelamaan
Kelemahan otot-otot
akan timbul ptosis. Setelah suara
pernapasan dapat dapat menyebabkan
penderita menjadi parau atau
gagal napas akut, dimana hal ini
tampak ada ptosis, maka
merupakan suatu keadaan gawat
penderita disuruh beristirahat.
darurat dan tindakan intubasi cepat
Kemudian tampak bahwa
sangat diperlukan. Kelemahan otot-
suaranya akan kembali baik dan
otot interkostal serta diafragma dapat
ptosis juga tidak tampak lagi.
menyebabkan retensi karbondioksida
Menurut Ngurah (1991) untuk
sehingga akan berakibat terjadinya
memastikan diagnosis miastenia
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot
gravis, dapat dilakukan beberapa tes
faring dapat menyebabkan kolapsnya
saluran napas atas, pengawasan yang
1. Uji Tensilon (edrophonium
ketat terhadap fungsi respirasi pada
chloride), tmtuk uji tensilon,
pasien miastenia gravis fase akut
disuntikkan 2 mg tensilon secara
sangat diperlukan (Howard, 2008).
intravena, bila tidak terdapat
Biasanya kelemahan otot-otot
reaksi maka disuntikkan lagi
ekstraokular terjadi secara asimetris.
sebanyak 8 mg tensilon secara
Kelemahan sering kali mempengaruhi
intravena. Segera sesudah
lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tensilon disuntikkan hendaknya
tidak hanya terbatas pada otot yang
diperhatikan otot-otot yang lemah
diinervasi oleh satu nervus cranialis.
seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan ptosis. Bila
bertambah berat. Untuk uji ini,
kelemahan itu benar disebabkan
sebaiknya disiapkan juga injeksi
oleh miastenia gravis, maka
prasiigmin, agar gejala-gejala
ptosis itu akan segera lenyap.
miastenik tidak bertambah berat.
Pada uiji ini kelopak mata yang
lemah hams diperhatikan dengan
Pemeriksaan Penunjang untuk
sangat seksama, karcna Diagnosis Pasti
efektivitas tensilon sangat 1. Pemeriksaan Laboratorium
singkat.
Anti-asetilkolin reseptor
2. Uji Prostigmin (neostigmw), pada
tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5
Hasil dari pemeriksaan ini
mg prostigmin merhylsulfat
dapat digunakan untuk mendiagnosis
secara intramuskular (bila perlu,
suatu miastenia gravis, dimana
diberikan pula atropin !X» atau
terdapat hasil yang postitif pada 74%
'/2 mg). Bila kelemahan itu benar
pasien. 80% dari penderita miastenia
disebabkan oleh miastenia gravis
gravis generalisata dan 50% dari
maka gejala-gejala seperti penderita dengan miastenia okular misalnya ptosis, strabismus atau
murni menunjukkan hasil tes anti-
kelemahan lain tidak lama
asetilkolin reseptor antibodi yang
kemudian akan lenyap.
positif. Pada pasien thymoma tanpa
3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet
miastenia gravis sering kali terjadi
kinina masing-masing 200 mg. 3
false positive anti-AChR
jam kemudian diberikan 3 tablet
antibody(Howard, 2008). Menurut
lagi (masing-masing 200 mg per
(Howard, 2008) rata-rata titer
tablet). Bila kelemahan itu benar
antibody pada pemeriksaan anti-
disebabkan oleh miastenia gravis,
asetilkolin reseptor antibody, yang
maka gejala seperti ptosis,
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan
strabismus, dan lain-lain akan
pada tabel berikut:
Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
Osserman class
Mean antibody titer
Percent positive
Pada tabel ini menunjukkan
2. Imaging
bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
Chest x-ray (foto roentgen
penderita miastenia gravis dalam
thorak), dapat dilakukan dalam
kondisi yang parah, walaupun titer
posisi anteroposterior dan lateral.
tersebut tidak dapat digunakan untuk
Pada roentgen thorak, thymoma
memprediksikan derajat penyakit
dapat diidentifikasi sebagai suatu
miastenia gravis.
massa pada bagian anterior
Antistriated muscle (anti-
SM) antibody
Hasil roentgen yang negatif
Merupakan salah satu tes yang
belum tentu dapat menyingkirkan
penting pada penderita miastenia
adanya thymoma ukuran kecil,
gravis. Tes ini menunjukkan hasil
sehingga terkadang perlu
positif pada sekitar 84% pasien yang
dilakukan chest Ct-scan untuk
menderita thymoma dalam usia
mengidentifikasi thymoma pada
kurang dari 40 tahun. Pada pasien
semua kasus miastenia gravis,
tanpa thymoma dengan usia lebih dari
terutama pada penderita dengan
40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif.
MRI pada otak dan orbita
sebaiknya tidak digunakan
Anti-muscle-specific kinase
sebagai pemeriksaan rutin. MRI
(MuSK) antibodies.
dapat digunakan apabila
diagnosis miastenia gravis tidak
Hampir 50% penderita
dapat ditegakkan dengan
miastenia gravis yang menunjukkan
pemeriksaan penunjang lainnya
hasil anti-AChR Ab negatif
dan untu mencaripenyebab defisit
(miastenia gravis seronegarif),
menunjukkan hasil yang positif untuk
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik
Antistriational antibodies
dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui
Dalam serum beberapa pasien
dengan miastenia gravis
Repetitive Nei ve
menunjukkan adanya antibody yang
Stimulation (RNS), pada
berikatan dalam pola cross-striational
penderita miastenia gravis
pada otot rangka dan otot jantung
terdapat penurunan jumlah
penderita. Antibodi ini bereaksi
reseptor asetilkolin, sehingga
dengan epitop pada reseptor protein
pada RNS tidak terdapat adanya
titin dan ryanodine (RyR). Antibody
suatu potensial aksi.
ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan miastenia gravis
Electromyography (SFEMG),
pada usia muda. Terdeteksinya
menggunakan jarum single-fiber,
titin/RyR antibody mcrupakan suatu
yang memiliki permukaan kecil
kecurigaaan yang kuat akan adanya
untuk merekam serat otot
thymoma pada pasien muda dengan
penderita. SFEMG dapat
miastenia gravis.
mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval
karsinoma terutama oat cell
interpotensial diantara 2 atau
carcinoma pada paru.
lebih serat otot tunggal pada
EMG pada LEMS sangat
motor unit yang sama) dan suatu
berbeda dengan EMG pada miastenia
fiber density (jumlah potensial
gravis. Defek pada transmisi
aksi dari serat otot tunggal yang
neuromuscular terjadi pada frekuensi
dapat direkam oleh jarum
renah (2Hz) tetapi akan terjadi
perekam). SFEMG mendeteksi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi
adanya defek transmisi pada
yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
neuromuscular fiber berupa
miastenia gravis terjadi pada
peningkatan jitter dan fiber
membran postsinaptik sedangkan
density yang normal.
kelainan pada LEMS terjadi pada
membran pre sinaptik, dimana
Diagnosis Banding
pelepasan asetilkolin tidak berjalan
Menurut Ngurah (1991) dan
dengan normal, sehingga jumlah
Howard (2008). Beberapa diagnosis
asetilkolin yang akhirnya sampai ke
banding untuk menegakkan diagnosis
membran postdinaptik tidak
miastenia gravis, antara lain:
mencukupi untuk menimbulkan
Adanya ptosis atau strabismus
dapat juga disebabkan oleh lesi
nervus III pada beberapa penyakit
elain miastenia gravis, antara lain:
Walaupun belum ada penelitian
a. Meningitis basalis (tuberkulosa
tentang strategi pengobatan yang
pasti, tetapi miastenia gravis
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik
merupakan kelainan neurologik yang
paling dapat diobati.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus
Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) dan terapi imunomudulasi
d. Paralisispascadifteri
merupakan penatalaksanaan utama
e. Pseudoptosis pada trachoma
pada miastenia gravis.
Apabila terdapat suatu diplopia
Antikolinesterase biasanya digunakan
yang transient maka kemungkinan
pada miastenia gravis yang ringan.
adanya suatu sklerosis multipleks.
Sedangkan pada pasien dengan
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-
miastenia gravis generalisata, perlu
Eaton Myasthenic Syndrome)
dilakukan terapi imunomudulasi yang
Penyakit ini dikarakteristikkan
rutin (Howard , 2008). Terapi
dengan adanya kelemahan dan
imunosupresif dan imunomodulasi
kelelahan pada otot anggota tubuh
yang dikombinasikan dengan
bagian proksimal dan disertai dengan
pemberian antibiotik dan penunjang
ke;emahan relatif pada otot-otot
ventilasi, mampu menghambat
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadinya mortal itas dan
terjadi peningkatan tenaga pada
menurunkan morbiditas pada
detik-detik awal suatu kontraksi
penderita miastenia gravis.
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut
Pengobatan ini dapat digolongkan
kering, dan sering kali dihubungkan
menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara
cepat dan tepat yang memiliki onset
magnesium, dan natrium yang dpat
lebih lambat tetapi memiliki efek
menimbulkan terjadinya hipotensi.
yang lebih lama sehingga dapat
Trombositopenia dan perubahan pada
mencegah terjadinya kekambuhan
berbagai faktor pembekuan darah
dapat terjadi pada terapi PE berulang.
Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
Terapi Jangka Pendek untuk
keadaan yang dapat dihubungkan
Intervensi Keadaan Akut
dengan terjadinya perdarahan, dan
Menurut Lewis (1995) terapi Jangka
pemberian fresh-frozen plasma tidak
Pendek untuk Intervensi Keadaan
diperlukan. 2. Intravenous
Akut adalah sebagai berikut
Immunoglobulin (IVIG)
1. Plasma Exchange (PE)
Produk tertentu dimana 99%
Jumlah pasien yang mendapat
merupakan IgG adalah complement-
tindakan berupa hospitalisasi dan
activating aggregates yang relatif
intubasi dalam waktu yang lama serta
aman untuk diberikan secara
trakeostomi, dapat diminimalisasikan
intravena. Mekanisme kerja dari
karena efek dramatis dari PE. Dasar
IVIG belum diketahui secara pasti,
terapi dengan PE adalah pemindahan
tetapi IVIG diperkirakan mampu
anti-asetilkolin secara efektif. Respon
memodulasi respon imun. Reduksi
dari terapi ini adalah menurunnya
dari titer antibody tidak dapat
titer antibodi. PE paling efektif
dibuktikan secara klinis, karena pada
digunakan pada situasi dimana terapi
sebagian besar pasien, tidak terdapat
jangka pendek yang menguntungkan
penurunan dari tjter antibodi. Efek
menjadi prioritas. Terapi ini
dari terapi dengan IVIG dapat muncul
digunakan pada pasien yang akan
sekitar 3-4 hari setelah memulai
memasuki atau sedang mengalami
terapi. IVIG diindikasikan pada
masa krisis. PE dapat pasien yang juga menggunakan terapi memaksimalkan tenaga pasien yang
PE, karena kedua terapi ini memiliki
akan menjalani thymektomi atau
onset yang cepat dengan durasi yang
pasien yang kesulitan menjalani
hanya beberapa minggu. Tetapi
periode postoperative. Belum ada
berdasarkan pengalaman dan
regimen standar untuk terapi ini,
beberapa data, tidak terdapat respon
tetapi banyak pusat kesehatan yang
yang sama antara terapi PE dengan
mengganti sekitar satu volume
IVIG, sehingga banyak pusat
plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6
kesehatan yang tidak menggunakan
kali terapi setiap hari. Albumin (5%)
IVIG sebagai terapi awal untuk
dengan larutan salin yang pasien dalam kondisi krisis. Dosis disuplementasikan dengan kalsium
standar IVIG adalah 400
dan natrium dapat digunakan untuk
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
replacement. Efek PE akan muncul
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama
pada 24 jam pertama dan dapat
2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
bertahan hingga lebih dari 10
keuntungan klinis berupa penurunan
minggu. Efek samping utama dari
level anti-asetilkolin reseptor yang
terapi PE adalah terjadinya dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak pergeseran cairan selama pertukaran
dilakukan pemasangan infus. Efek
berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
samping dari terapi dengan
menggunakan IVIG adalah nyeri
imun dan efek terapi yang pasti
kepala yang hebat, serta rasa mual
terhadap miastenia gravis masih
selama pemasangan infus, sehingga
belum diketahui. Koortikosteroid
tetesan infus menjadi lebih lambat.
diperkirakan memiliki efek pada
Flulike symdrome seperti demam,
aktivasi sel T helper dan pada
menggigil, mual, muntah, sakit
fase proliferasi dari sel B. Sel t
kepala, dan malaise dapat terjadi pada
serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki
peran yang menguntungkan
Melhvlprednisolone (IVMp)
dalam memposisikan
IVMp diberikan dengan dosis 2
kortikosteroid di tempat kelainan
gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
imun pada miastenia gravis.
ada respon, maka pemberian dapat
Pasien yang berespon terhadap
diulangi 5 hari kemudian. Jika respon
kortikosteroid akan mengalami
masih juga tidak ada, maka
penurunan dari titer antibodinya.
pemberian dapat diulangi 5 hari
Kortikosteroid diindikasikan pada
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
penderita dengan gejala klinis
menunjukkan respon terhadap IVMp
yang sangat menggangu, yang
pada terapi kedua, sedangkan 2
tidak dapat di kontrol dengan
pasien lainnya menunjukkan respon
antikolinesterase. Dosis maksimal
pada terapi ketiga. Efek maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah
60 mg/hari kemudian dilakukan
waktu sekitar 1 minggu setelah
tapering pada pemberiannya.
terapi. Penggunaan IVMp pada
Pada penggunaan dengan dosis
keadaan krisisakan dipertimbangkan
diatas 30 mg setiap harinya, aka
apabila terpai lain gagal atau tidak
timbul efek samping berupa
dapat digunakan.
osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta
Pengobatan Farmakologi Jangka
Menurut Lewis (1995) terapi
jangka panjang untuk Intervensi
Keadaan Akut adalah sebagai berikut:
Azathioprine biasanya
1. Kortikosteroid
digunakan pada pasien miastenia
Kortikosteroid adalah terapi
gravis yang secara relatif
yang paling lama digunakan dan
terkontrol tetapi menggunakan
paling murah untuk pengobatan
kortikosteroid dengan dosis
miastenia gravis. Respon terhadap
tinggi. Azathioprine dapat
pengobatan kortikosteroid mulai
dikonversi menjadi
tampak dalam waktu 2-3 minggu
merkaptopurin, suatu analog dari
setelah inisiasi terapi. Durasi
purin yang memiliki efek
kerja kortikosteroid dapat
terhadap penghambatan sintesis
berlangsung hingga 18 bulan,
nukleotida pada DNA dan RNA.
dengan rata-rata selama 3 bulan.
Azathioprine diberikan secara
Kortikosteroid memiliki efek
oral dengan dosis pemeliharaan 2-
yang kompleks terhadap sistem
3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan
dosis awal sebesar 25-50 mg/hari
pengobatan thymoma denga atau
hingga dosis optimafl tercapai.
tanpa miastenia gravis sejak awal
Azathioprine merupakan obat
tahun 1900. Telah banyak
yang secara relatif dapat
dilakukan penelitian tentang
ditoleransi dengan baik oleh
hubungan antara kelenjar timus
tubuh dan secara umum memiliki
dengan kejadian miastenia gravis.
efek samping yang lebih sedikit
Germinal center hiperplasia timus
dibandingkan dengan obat
dianggap sebagai penyebab yang
imunosupresif lainnya. Respon
mungkin bertanggungjawab
Azathioprine sangant lambat,
terhadap kejadian miastenia
dengan respon maksimal
gravis. Penelitian terbaru
didapatkan dalam 12-36 bulan.
menyebutkan bahwa terdapat
Kekambuhan dilaporkan terjadi
faktor lain sehingga timus
pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga
terhadap perkembangan dan
dikombinasikan dengan obat
inisiasi imunologi pada miastenia
imunomodulasi yang lain.
gravis. Tujuan neurologi utama
dari Thymectomi ini adalah
Cyclosporine berpengaruh
tercapainya perbaikan signifikan
pada produksi dan pelepasan
dari kelemahan pasien,
interleukin-2 dari sel T-helper.
mengurangi dosis obat yang harus
Supresi terhadap aktivasi sel T-
dikonsumsi pasien, serta
helper, menimbulkan efek pada
idealnya adalah kesembuhan
produksi antibodi. Dosis awal
yang permanen dari pasien
pemberian Cyclosporine sekitar 5
(Anonim, 2008). Banyak ahli
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua
saraf memiliki pengalaman
atau tiga dosis. Respon terhadap
meyakinkan bahwa thymektomi
Cyclosporine lebih cepat
memiliki peranan yang penting
dibandingkan azathioprine.
untuk terapi miastenia gravis,
Cyclosporine dapat menimbulkan
walaupun kentungannya
efek samping berupa
bervariasi, sulit untuk dijelaskan
nefrotoksisitas dan hipertensi.
dan masih tidak dapat dibuktikan
4. 4. Cyclophosphamide (CPM)
oleh standar yang seksama.
CPM adalah suatu alkilating
Secara umum, kebanyakan pasien
agent yang berefek pada
mulai mengalami perbaikan
proliferasi sel B, dan secara tidak
dalam waktu satu tahun setelah
langsung dapat menekan sintesis
thymektomi dan tidak sedikit
imunoglobulin. Secara teori CPM
yang menunjukkan remisi yang
memiliki efek langsung terhadap
permanen (tidak ada lagi
produksi antibodi dibandingkan
kelemahan serta obat-obatan).
Beberapa ahli percaya besarnya
5. Thymectomy (Surgical Care)
angka remisi setelah pembedahan
Thymectomy telah adalah antara 20-40% tergantung
digunakan untuk mengobati
dari jenis thymektomi yang
pasien denganmiastenia gravis
dilakukan. Ahli lainnya percaya
sejak tahun 1940 dan untuk
bahwa remisi yang tergantung
dari semakin banyaknya
menimbulkan suara sengau.
prosedur ekstensif adalah antara
Selain itu bila penderita minum
40-60% lima hingga sepuluh tahu
air, mungkin air itu dapat keluar
setelah pembedahan (Anonim,
4) Penatalaksaan utama pada
miastenia gravis dapat diobati
KESIMPULAN
dengan antikolinesterase
1) Miastenia gravis adalah suatu
(asetilkolinesterase inhibitor) dan
kelainan autoimun yang ditandai
oleh suatu kelemahan abnormal
Antikolinesterase biasanya
dan progresif pada otot rangka
digunakan pada miastenia gravis
yang dipergunakan secara terus-
yang ringan. Sedangkan pada
menerus dan disertai dengan
pasien dengan miastenia gravis
kelelahan saat beraktivitas.
generalisata, perlu dilakukan
2) Mekanisme imunogenik terapi imunomudulasi yang rutin.
memegang peranan yang sangat
Terapi imunosupresif dan
penting pada patofisiologi
imunomodulasi yang
miastenia gravis. Mekanisme
dikombainasikan dengan
pasti tentang hilangnya toleransi
pemberian antibiotik dan
imunologik terhadap reseptor
penunjang ventilasi, mampu
asetilkolin pada penderita
menghambat terjadinya mortalitas
miastenia gravis belum
dan menurunkan morbiditas
sepenuhnya dapat dimengcrti.
pada penderita miastenia gravis.
Miastenia gravis dapat dikatakan
Pengobatan ini dapat digolongkan
sebagai "penyakit terkait sel B",
menjadi terapi yang dapat
dimana antibodi yang mcrupakan
memulihkan kekuatan otot secara
produk dari sel B justru melawan
cepat dan tepat yang memiliki
reseptor asetilkolin.
onset lebih lambat tetapi memiliki
3) Gejala klinis miastenia gravis
efek yang lebih lama sehingga
antara lain ; Kelerhahan pada otot
dapat mencegah terjadinya
ekstraokular atau ptosis,
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
DAFTAR PUSTAKA
memburuk. Kelemahan tersebut
akan menyebar mulai dari otot
Engel, A. G. MD (1984). Myasthenia
ocular, otot wajah, otot leher,
Gravis and Myasthenic
hingga ke otot ekstremitas.
Syndromes. Ann Neurol 16:
Sewaktu-waktu dapat pula timbul
kelemahan dari otot masseter
Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P.
sehingga mulut penderita sukar
(1995). Myasthenia Gravis:
untuk ditutup. Selain itu dapat
Immunological Mechanisms and
pula timbul kelemahan dari otot
Immunotherapy. AnnNeurol.
faring, lidah, pallatum molle, dan
laring sehingga timbullah Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-kesukaran menelan dan berbicara.
dasar Ilmu Penyakit
Paresis daripallatum molle akan
Saraf.Airlanga University Press. Page: 301-305.
Howard, JF (2008). Myasthenia
Gravis, a Summary. Available at:http://www.ninds.nih.gov/dis orders/myasthenia_gravis/detail _myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22,2008.
Newton, E (2008). Myasthenia
Gravis. Available at : http://en.wikipedia.Org/wiki/M yasthenia_gravis. accessed : March 22,2008.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA.
(1999). Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835.
Anonim (2008), Myasthenia Gravis. Available
at:http://www.myasthcnia.org/dos /MGFA_Brochure_Ocular.pdi Accessed: March 22, 2008.
Anonim (2008). Thymectomy,
Dewa, Benny. Miastenia Gravis. Available at: [email protected]. http://www.myasthenia.org/amgJreatments.cfnx cessed March 22, 2008:
Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar.
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.Penerbit EGC. Jakarta
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN LANSIA
KE POSYANDU LANSIA DI RW VII KELURAHAN WONOKUSUMO
KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA
1Fahrun Nur Rosyid, 2Musrifatul Uliyah, 3Uswatun Hasanah
IBagian Keperawatan Medikal Bedah, 2Bagian keperawatan Gerontik
Fakultas IlmuKesehatan UMSurabaya
3Mahasiswa SI Ilmu Keperawatan
Abstract
Under behaviour of old folks to visit Old Folks Posyandu will influence the
under knowledge of old folks themselves about their health condition, because at this time healthy of people above 60 years decrease and commonly get sick. It is caused by decreasing of old folks visit Old Folks Posyandu. The purpose of this study is identifying and analyzing the effect of factors that influenced old folks to visit Posyandu.
The method of this study is cross sectional method using 30 respondents.
Sample collected by simple random sample technique. Statistic method used by
SPSS. The instrument that used is questionnaires and interview.
This study is using Linier regression (SPSS). It shows that p = 0.725 for Sex, it
means HO accepted (there is no influence between dependent variable and
independent variable). It also means Sex is not one of factor that influences old
folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for education, it means
HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent
variable). It also means Education is not one of factor that influences old folks
visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for job, it means HO not
accepted (there is influence between dependent variable and independent
variable). It also means Job is one of factor that influences old folks visiting to
Posyandu. The result shows that p = 0.001 for Income, it means HO not accepted
(there is influence between dependent variable and independent variable). It also
means Income is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.634 for knowledge, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
knowledge is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.109 for living place, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
living place is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu.
Conclusions of this study are Sex, Education, Knowledge, Living place aren't
factors that influence old folks visiting to Posyandu, and Job and Income are
factors that influences old folks visiting to Posyandu.
Keywords: Old Folks Posyandu, old folk's visits, factor that influence.
PENDAHULUAN
penyakit telah meningkatkan
Keberhasilan dalam bidang
kualitas hidup manusia dan
ketidakmampuan, dan keterlambatan
menjadikan rata-rata umur harapan
peningkatan dan pencegahan
hidup meningkat keadaan ini
bisa terlihat bahwa hanya 76% lansia
(Mulyani, 2009). Pada tahun
yang berkunjung ke posyandu lansia.
2010 diperkirakan jumlah penduduk
Tujuan penelitian ini adalah untuk
lanjut usia (Lansia) di Indonesia,
mengetahui faktor-faktor yang
sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari
mempengaruhi kunjungan lansia ke
total jumlah menyebabkan jumlah
posyandu lansia di RW VII
usia lanjut penduduk (Hambuako,
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan
2008). Pada semakin besar.
Semampir Surabaya.
Permasalahan yang tahun 2007
jumlah penduduk Jawa akan timbul
pada lansia yaitu : Timur
Penelitian ini menggunakan
sebanyak 37.790.642 jiwa, yang
desain Cross sectional dengan
lanjut usia mencapai 4.202.908 jiwa
populasi para lansia di posyandu
atau 11,2 %, dengan prosentase
lansia RW 7 Wonosari Kelurahan
tersebut provinsi Jawa Timur
Wonokusumo Kecamatan Semampir
mengalami struktur penduduk tua
Surabaya dengan jumlah 32 orang.
(Hasan Aminuddin, 2008), Sampel diambil 30 lansia dengan sedangkan jumlah lansia di Surabaya
teknik Simple Random Sampling.
di bagi menjadi dua : pra usila (45 th
Variabel independen penelitian ini
-59 th) terdiri dari 253.723 jiwa dan
kunjungan lansia ke Posyandu
yang usia lanjut (> 60 th) terdiri dari
lansia,sedagkan variabel dependen
166.437 jiwa 9 (Mohammad Adib,
jenis kelamin, tingkat pendidikan,
2008). Pada bulan Mei di RW VII
pekerjaan, pendapatan, tingkat
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan
pengetahuan dan pola tempat tinggal.
Semampir Surabaya di dapatkan data
Data yang terkumpul
lansia (old) sebanyak 32 lansia. Dari
dianalisisdengan uji statistik Regresi
lansia yang berkunjung ke posyandu
Linier Berganda.
lansia hanya 30 lansia, dari situlah
HASIL
Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Signifikansi (p) = 0,725
Berdasarkan tabel diatas, berjenis kelamin perempuan menunjukkan sebagian besar yang
sebanyak 23 orang (75,9%), dan
berkunjung ke Posyandu adalah
sebagian kecil adalah kunjungan 1
kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu
bulan 2 kali yaitu berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 4 orang (13,2%),
HO diterima berarti tidak ada
kemudian dihitung dengan pengaruh, sehingga jenis kelamin menggunakan Uji Regresi Linier
bukan faktor yang mempengaruhi
(SPSS) didapatkan p=0,725 maka
kunjungan lansia ke Posyandu lansia
Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunj ungan Lansia
Tabel 2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Tingkat Pendidikan
Signifikansi (p) = 0,528
Berdasarkan tabel diatas, (6,6%), kemudian dihitung dengan menunjukkan sebagian besar yang
menggunakan Uji Regresi Linier
berkunjung ke Posyandu adalah
(SPSS) didapatkan p=0,528 maka
kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu
HO doterima berarti tidak ada
tingkat pendidikan SD sebanyak 14
pengaruh, sehingga tingkat
orang (46,2%), dan sebagian kecil
pendidikan bukan fakor yang
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali
mempengaruhi kunjungan lansia ke
yaitu tingkat pendidikan SMP
Posyandu lansia.
sebanyak 2 orang
Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 5.17 Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Signifikansi (p) = 0,002
Berdasarkan tabel diatas, kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu menunjukkan sebagian besar yang
sebagai ibu rumah tangga sebanyak
berkunjung ke Posyandu adalah
21 orang (69,3%), dan sebagian kecil
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali
p=0,002 maka HO ditolak berarti
yaitu sebagai wiraswasta dan PNS
ada pengaruh, sehingga pekerjaan
merupakan factor yang
sebanyak 2 orang (6,6%), kemudian
mempengaruhi kunjungan lansia ke
dihitung dengan menggunakan Uji
Posyandu lansia.
Regresi Linier (SPSS) didapatkan Pengaruh pendapatan terhadap kunjungan Lansia Tabel 3. Pengaruh pendapatan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009
Signifikansi (p) = 0,001
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 24 berarti ada pengaruh, menunjukkan (6,6%), kemudian
sehingga pendapatan orang (79,2%),
dihitung dengan sebagian besar
dan sebagian kecil adalah merupakan
yang berkunjung ke menggunakan
factor yang mempengaruhi
Uji Regresi Linier (SPSS) Posyandu
kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu
adalah kunjungan 1 bulan 1 kali
kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
didapatkan p=0,001 maka HO
berpendapatan rendah sebanyak 2
ditolak yaitu berpendapatan rendah
Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir pada bulan Juli tahun 2009
Tingkat pengetahuan
Signifikansi (p) = 0,634
Berdasarkan tabel diatas,
maka HOberpengetahuan baik
berpendapatan baik sebanyak 4
sebanyak 23 diterima berarti tidak
orang menunjukkan sebagian besar
ada pengaruh,orang (75,9%), .dan
yang (13,2%), kemudian dihitung
sebagian kecil sehingga tingkat
dengan berkunjung ke Posyandu
pengetahuan bukan adalah
adalah menggunakan Uji Regresi
kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu factor
Linierkunjungan 1 bulan 1 kali
yang mempengaruhi kunjungan
yaitu (SPSS) didapatkan p=0,634
lansia ke Posyandu lansia.
Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 5 Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Pola tempat tinggal
Signifikansi(p) = 0,109
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke
Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berjarak sedang sebanyak 13 orang (42,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjarak dekat sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan ;?=0,7 09 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
menggunakan Uji Regresi Linier
PEMBAHASAN
(SPSS) didapatkan p=0,725 maka
Pengaruh Jenis Kelamin
HO diterima berarti tidak ada
Dari hasil penelitian terhadap
30 lansia, menunjukkan sebagian
pengaruh, sehingga jenis kelamin
besar adalah kunjungan 1 bulan 1
bukan factor yang mempengaruhi
kali lansia berjenis kelamin
kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
perempuan, dan sebagian kecil
Hasil uji tersebut bertolak
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali
belakang dengan hasil survey
lansia yang berjenis kelamin laki-
Indonesia Family Life Survey (IFLS)
tahun 1993 yang menunjukkan
Berdasarkan data yang telah
bahwa jenis kelamin ikut
diteliti, jenis kelamin di Posyandu
mempengaruhi seseorang dalam
RW.VII Kelurahan Wonkusumo
mengambil keputusan untuk
Kecamatan Semampir Surabaya,
memanfaatkan fasilitas kesehatan
kemudian dihitung dengan yang ada, dimana perorangan
memiliki prosentase yang lebih
mempengaruhi kunjungan lansia ke
banyak daripada laki-laki (Isfandi,
Posyandu lansia.
1999). Sedangkan menurut penelitian
Menurut Notoatmojo, 1997.
huygen dan Smits, perbedaan
Konsep dasar pendidikan adalah
diantara wanita dan pria terlihat pada
suatu proses belajar yang berarti
sistem rujukan ke pelayanan
dalam pendidikan itu terjadi proses
kesehatan yang lebih tinggi wanita.
pertumbuhan, perkembangan atau
dibandingkan pria (Jamal, 1996).
perubahan ke arah yang lebih
Dari data yang diperoleh lansia
dewasa, lebih baik dan lebih matang
perempuan cenderung mempunyai
pada diri individu, kelompok dan
perilaku yang tinggi untuk mengikuti
masyarakat. Kegiatan atau proses
Posyandu lansia, sebaliknya bagi
belajar apabila didalamnya terjadi
lansia laki-laki mempunyai perilaku
perubahan dari tidak tahu menjadi
cenderung sedang dan rendah. Hal
tahu dari tidak mau mengerjakan
ini diakibatkan perempuan lebih
menjadi mau mengerjakan sesuatu,
tekun dalam menghadapi tindakan
namun demikian tidak semua
terutama mengikuti Posyandu lansia.
perubahan itu terjadi karena belajar
Laki-laki tentunya cepat bosan jika
saja, tetapi juga karena proses
dilihat dari segi psikologis jika
kematangan dari perkembangan
mengikuti Posyandu lansia, jadi
kesimpulannya untuk meningkatkan
Tidak adanya pengaruh tingkat
perilaku lansia untuk berkunjung ke
pendidikan terhadap kunjungan
Posyandu lansia harus melalui
lansia ke posyandu lansia tersebut
promosi kesehatan, ceramah,
mungkin saja terjadi. Karena
penyuluhan dan lain-lain.
pendidikan pada dasarnya tidak
hanya dapat diperoleh dari bangku
Pengaruh Tingkat Pendidikan
sekolah (formal) tetapi juga di
Dari hasil penelitian terhadap
lingkungan keluarga, masyarakat,
30 lansia didapatkan lansia yang
dan dari media lainnya (majalah,
berkunjung ke posyandu sebagian
besar adalah kunjungan 1 bulan 1
kali di tingkat pendidikan SD, dan
Pengaruh Pekerjaan
sebagian kecil adalah kunjungan 1
Dari hasil penelitian terhadap
bulan 2 kali di tingkat pendidikan
30 lansia didapatkan lansia yang
tidak sekolah dan SMP.
berkunjung ke posyandu sebagian
Berdasarkan data yang telah
besar adalah kunjungan 1 bulan 1
diteliti, tingkat pendidikan di
kali sebagai ibu rumah tangga, dan
Posyandu RW.VII Kelurahan
sebagian kecil adalah kunjungan 1
Wonokusumo Kecamatan Semampir
bulan 2 kali yaitu sebagai PNS.
Surabaya, kemudian dihitung dengan
Berdasarkan data yang telah
menggunakan Uji Regresi Linier
diteliti, pekerjaan di Posyandu
(SPSS) didapatkan p=0,528 maka
RW.VII Kelurahan Wonokusumo
HOditerima berarti tidak ada
Kecamatan Semampir Surabaya,
pengaruh, sehingga tingkat kemudian dihitung dengan pendidikan bukan factor yang
menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,002 maka
HO diterima berarti ada pengaruh,
mereka terima setelah bekerja. Dari
sehingga pekerjaan merupakan factor
hasil penelitian menunjukkan
yang mempengaruhi kunjungan
sebagian besar adalah kunjungan 1
lansia ke Posyandu lansia.
bulan 1 kali yaitu berpendapatan
Dibandingkan penduduk lansia
rendah, dan sebagian kecil adalah 1
desa dan kota, masyarakat yang
bulan 2 kali yaitu berpendapatan
tinggal di daerah pedesaan lebih
menengah dan tinggi. Berdasarkan
banyak yang masih bekerja pada usia
data yang telah diteliti, pendapatan di
tua dibandingkan di daerah
Posyandu RW.VII Kelurahan
perkotaan. Alasan lansia untuk
Wonokusumo Kecamatan Semampir
bekerja antara lain disebabkan oleh
Surabaya, kemudian dihitung dengan
jaminan sosial dan kesehatan yang
menggunakan Uji Regresi Linier
masih kurang. Disamping hal
(SPSS) didapatkan p=0,001 maka
tersebut desa akan ekonomi
HO ditolak berarti ada pengaruh,
merupakan hal pendorong untuk
sehingga pendapatan merupakan
mereka bekerja dan mencari
factor yang mempengaruhi
pekerjaan. Hal ini dimungkinan,
kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
karena pada umumnya keadaan fisik,
Secara ekonomi, keadaan
mental dan emosional mereka masih
financial para lansia jelas tidak
baik (Hardywinoto dan Setiabudhi,
seperti waktu muda. Bila lansia
1999). Mernurut Wilson tahun 1992,
termasuk golongan yang bekerja
keadaan terjadi bila seseorang
mengandalkan otot seperti pekerja
bekerja terlalu keras dengan kondisi
kasar, tukang becak, petani, buruh,
perekonomian yang pas-pasan serta
dll dalam menginjak umur tua
berpendidikan rendah dimana
kemampuan pasti berkurang akan
pengertian tentang kesehatan adalah
pada suatu saat mungkin tidak
minimal dan akses terhadap
sanggup lagi melakukan pekerjaan
informasi juga terbatas (Astuti,
tersebut. Oleh sebab itu pendapatan
orang tersebut pasti akan menurun
Dari Hasil penelitian terhadap
(Mangunditoirja, 1995). Kemampuan
faktor yang mempengaruhi ekonomi menjadisalah satu faktor penggunaan fasilitas kesehatan yang
dilakukan oleh Buhari dalam
orang u n t u k memanfaatkan
Sudjilah, 1989 antara lain adanya
fasilitas kesehatan ataupun untuk
pengaruh faktor sistem pelayanan
pergi ke tempat aktifitas sosial
kesehatan yaitu tersedianya tenaga
(Isfandi, 1999).
kesehatan serta faktor dari konsumen
Dari Hasil penelitian terhadap
yang menggunakan pelayanan
faktor yang mempengaruhi
kesehatan yaitu pendidikan, penggunaan fasilitas kesehatan yang pekerjaan, pendapatan.
dilakukan oleh Buhari dalam
Sudjilah, 1989 antara lain adanya
Pengaruh Pendapatan
pengaruh faktor sistem pelayanan
Pendapatan berkaitan erat
kesehatan yaitu tersedianya tenaga
dengan pekerjaan responden, karena
kesehatan serta faktor dari konsumen
pendapatan pada umumnya yang menggunakan pelayanan bersumber dari gaji atau upah yang
kesehatan yaitu pendidikan, pengetahuan tentang posyandu yang pekerjaan, pendapatan.
baik belum tentu man berkunjung ke
Pengaruh Pengetahuan
Dari hasil penelitian terhadap
Pengaruh Pola Tempat Tinggal
30 lansia di dapatkan sebagian besar
Pada penelitian terhadap pola
adalah kunjungan 1 bulan 1 kali
tempat tinggal lansia, disini mcmakai
yaitu berpengetahuan baik, dan
klasifikasi jarak rumah ke pelayanan
sebagian kecil adalah kunjungan 1
kesehatan (posyandu). Dari hasil
bulan 2 kali yaitu berpengetahuan
penelitian terhadap 30 lansia di
dapatkan sebagian besar adalah
Berdasarkan data yang telah
kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu
diteliti, pengetahuan di Posyandu
bcrjarak dekat dengan pelayanan
RW.VII Kelurahan Wonokusumo
kesehatan (posyandu), dan sebagian
Kecamatan Semampir Surabaya,
kecil adalah berjarak jauh dengan
kemudian dihitung dengan pelayanan kesehatan (Posyandu). menggunakan Uji Regresi Linier
Berdasarkan data yang telah
(SPSS) didapatkan/7=r;,634 maka
diteliti, pengetahuan di Posyandu
HO diterima berarti tidak ada
RW.VII Kelurahan Wonokusumo
pengaruh, sehingga pengetahuan
Kecamatan Semampir Surabaya,
bukan factor yang mempengaruhi
kemudian dihitung dengan
kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
menggunakan Uji Regresi Linier
Hasil penelitian tersebut sesuai
(SPSS) didapatkan p=OJ09 maka
dengan yang dikemukakan oleh
HO diterima berarti tidak ada
NoToatmodjo, 1993 bahwa pengaruh, sehingga pola tempat pengetahuan adalah merupakan hasil
tinggal bukan merupakan factor yang
dari tahu dan ini terjadi setelah orang
mempengaruhi kunjungan lansia ke
melakukan penginderaan terhadap
Posyandu lansia.
suatu obyek tertentu. Penginderaan
Menurut pendapat H.L. Bloom,
terjadi mclalui panca indera manusia.
bahwa perilaku mempunyai peranan
Sebagian besar pengetahuan manusia
yang besar terhadap derajat
diperoleh dari mata dan telinga.
kesehatan setelah pengaruh
Pengetahuan atau kognitif lingkungan, sedangkan faktor adanya merupakan domain yang sangat
pelayanan kesehatan mempunyai
pengaruh lebih kecil daripada faktor
tindakan seseorang (ovent
perilaku. Sedangkan menurut Green
bahwa perilaku seseorang atau
Tingkat pengetahuan seseorang
masyarakat tentang kesehatan
tidak selalu memotivasi prilaku
ditentukan oleh pengetahuan, sikap,
logika, artinya pengetahuan yang
kepercayaan, tradisi dan sebagainya
baik (lansia yang tahu tentang
dari orang atau masyarakat yang
pengertian Posyandu, tujuan
bcrsangkutan. Disamping itu.
Posyandu, bentuk pelayanan
ketersediaan fasilitas, sikap dan
Posyandu, dan Mekanisme perilaku para petugas kesehatan Posyandu) tidak selalu memimpin
terhadap kesehatan juga akan
perilaku yang benar dalam hal ini
mendukung dan memperkuat
Astuti, Endang. P. 2000.Faktor-
terbentuknya perilaku.
Faktor Yang Mendorong
Seorang lansia yang tidak mau
Lansia Tetap Bekerja di Sektor
datang ke posyandu disebabkan
Pertanian. Skripsi. Universitas
karena orang tersebut tidak atau
belum tahu manfaat posyandu.
Tetapi barangkali juga rumahnya
Darmojo, R. 2000. Buku Ajar
jauh dengan posyandu atau mungkin
Geriatri Edisi 1. Balai Pustaka
karena para petugas kesehatan
kurang ramah atau tokoh masyarakat
Departemen Kesehatan RI, 2000.
lain disekitarnya tidak pernah ke
Pedoman Pembinaan
Kesehatan Lanjut Usia bagi
Petugas Kesehatan I. Jakarta :
SIMPULAN DAN SARAN
Departemen Kesehatan.
Sebagian besar lansia yang
yang berkunjung ke Posyandu lansia
Departemen Kesehatan RI, 2000.
berjenis kelamin perempuan, tingkat
Pedoman Pembinaan
pendidikan SD, ibu rumah tangga,
Kesehatan Usia Lanjut bagi
berpendapatan rendah, dan memiliki
Petugas Kesehatan II. Jakarta :
pengetahuan yang baik.
Departemen Kesehatan
Masyarakat yang menjadi
kader kesehatan dan bimbingan dari
Lindepok. 2008. All Bout
puskesmas diharapkan lebih
Posyandu.
memotivasi lansia untuk berkunjung
http://iinaza.wordpres s.com.
ke Posyandu lansia.
Diakses rabu tanggal 8 April
2009, jam 11.00 WIB
DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz AH. 2007. Metode
Isfandari, Siti. (199). Pemanfaatan
Penelitian Keperawatan dan
Fasilitas Kesehatan Pada
Tehnik Analisis Data. Edisi I.
Golongan 50 Tahun ke Atas.
Salemba Medika. Jakarta
Analisis Lanjut IFLS 1993.
Jurnal Epidemologi Nasional.
Amrul, Fauzi. 2008. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi
Penwunan Minat Lansia
Jamal, Sarjani. 1996. Wanita dan
Terhadap Posyandu Lansia di
Pria Dalam Karakteristik
Desa Pagak Kecamatan Pagak
Kabupaten Making. Malang:
Epidmologi Nasional
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah.
Jenner, B. 1997. Keperawatan
Gerontik. Jakarta: EGC
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian : Suatu Pendekatan
Kuncoro, Zainuddin Sri. 2002.
Praktek, edisi revisi v, Jakarta:
Masalah Kesehatan Jiwa
psikologi.com. Diakses tanggal
Nurkusuma, Dudy D. 2001.
Posyandu Lanjut Usia di
Kusuma, Fitria Trisna. 2008. Skripsi:
Puskesmas Pare Kabupaten
Pengaruh Pelatihan Posyandu
Temanggung.
Lansia Terhadap Kinerja
http://www.tempo.co.id
Kader di Kelurahan Bulukerto
Diakses tanggal 11 Mei 2009
Magetan. Surabaya: Fakultas
Keperawatan Universitas Nursalam. 2003. Konsep & Airlangga.
Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan
Instrumen Penelitian
logspot.com. Diakses tanggal
Keperawatan.
28 Juni 2009 jam: 10:49.
Mangundiwirja, Daldiri. 1995.
Pemkot Jogja, 2007. Pemkot Jogja P
Masalah-Masalah Yang
e d u I i Lansia.
Dihadapi Lansia Indonesia
Tahun 2000. Seminar Nasional
d Diakses tanggal 11 Mei 2009
Problematic Manula Menggapai
R.Boedhi Darmojo,dkk. 2006. Buku
Harapan di Penghujung Dunia
Ajar Geriatri. Edisi ke-3.
Surabaya: Yayasan
Cetakan ke-2. Jakarta :
Pendidikan Tinggi Da'wah
Fakultas Kesehatan Universitas
Islam JawaTimur.
Mulyani, Slamet. 2009. Hubungan
Sa'adah, H.D. 2008. Skripsi :
Antara Pengetahuan Tentang
Pengaruh Latihan Fleksi
Kegiatan Posyandu Lansia
William (Stretching) Terhadap
Dengan Partisipasi Lansia di
Tingkat Nyeri Punggung
Posyandu Wilayah Puskesmas
Patuk 1 Kabupaten Gunung K i
Bawah Pada Lansia di Posyandu
d u 1 . http
Lansia RW 2 D e s a
://keperawatankomunitas .b
Kedungkandang Malang.
logspot.com. Diakses tanggal
Surabaya : Fakultas
llMei 2009 jam: 11:34
Kedokteran Universitas A i r 1
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. P
engantar Pendidikan
Sugiyono. 2006. Statistika Untuk
Kesehatan dan Ilmu Penilaian.
Penelitian,
Yogyakarta: Andi Offset
Nugroho, Wahjudi. 2000.
Keperawatan Gerontik Ed 2.
Sulistyani. 2001. Skripsi :Faktor-
Wijayanti, I.K. 2008. Skripsi :
Faktor yang Mempengaruhi
Pengaruh Strength Training
Keaktifan Lansia untukDatang
Terhadap Peningkatan
ke Posyandu Lansia (Studi
Keseimbangan Postural Pada
Kasus di Posyandu Lansia
Lansia Dengan Nyeri Sendi L u
Desa Trihanggo Kecamatan
t u t d i Posyandu Lansia
Camping Kabupaten Sleman
"ISWORO" Kelurahan Taman
Daerah Istimewa Yogyakarta).
Kota Madiun. Surabaya:
Surabaya: Fakultas Kesehatan
Fakultas Keperawatan
Masyarakat Universitas
Universitas Airlangga.
Source: http://fik.um-surabaya.ac.id/sites/default/files/jurnall/HEALTH%20SCIENCES%20(FEBRUARI%202010).pdf
SK is happy to present the Annual Report for the year 2010. The report endeavors to communicate to the readers the tasks accomplished by the organization over the defined period, the challenges met and Aalso the emerging issues it had to deal with. Needless to say it would not have been possible to achieve many of the goals without the assistance provided by different sections of people. Planning, Monitoring and Evaluation unit of ASK prepared the report by collecting and compiling information from different programmes. All the staff including the Executive Director and members went through the draft and commented upon it. ASK
Takeda Receives Simultaneous European Marketing Authorization for Three New Type 2 Diabetes Therapies, VipidiaTM (alogliptin) and Fixed-Dose Combinations VipdometTM (alogliptin and metformin) and IncresyncTM (alogliptin and pioglitazone) Osaka, Japan, September 24, 2013 – Takeda Pharmaceutical Company Limited (Takeda) today announced that the European Commission has granted Marketing Authorization (MA) for VipidiaTM (alogliptin), a dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) inhibitor, for the treatment of type 2 diabetes patients who are uncontrolled on existing therapies1-3and for the fixed-dose combination (FDC) therapies VipdometTM (alogliptin with metformin) and IncresyncTM (alogliptin with pioglitazone). The Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP), of the European Medicines Agency (EMA), issued a positive opinion for these products on July 26, 2013.